krumlovwedding.com, JAKARTA – Jaringan kriminal di Asia Tenggara memanfaatkan aplikasi perpesanan Telegram secara luas, sehingga mengubah cara kejahatan terorganisir melakukan aktivitas ilegal di seluruh dunia. Demikian laporan yang dirilis Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) pada Senin (10 Juli 2024).
Menurut UNODC, data yang diretas, termasuk rincian kartu kredit, kata sandi, dan riwayat penelusuran browser, diperdagangkan secara publik di saluran Telegram dalam skala besar. Selain itu, alat-alat yang digunakan dalam kejahatan dunia maya, termasuk perangkat lunak berkantong tebal dan malware pencuri data, juga banyak dijual. Pertukaran mata uang kripto ilegal juga menawarkan layanan pencucian uang di Telegram.
“Ada bukti kuat bahwa pasar data gelap beralih ke Telegram, dengan vendor secara aktif berupaya menyasar kelompok kejahatan terorganisir transnasional yang berbasis di Asia Tenggara,” demikian bunyi laporan tersebut, seperti dilansir Reuters, Selasa (8 Oktober 2024).
Asia Tenggara menjadi pusat utama industri bernilai miliaran dolar yang menargetkan korban di seluruh dunia dengan skema penipuan. Menurut laporan UNODC, banyak dari serikat pekerja ini dijalankan oleh kelompok yang diduga berasal dari Tiongkok, yang beroperasi di lingkungan dengan keamanan tinggi dan mempekerjakan pekerja secara ilegal.
“Industri ini bernilai antara US$27,4 miliar hingga US$36,5 miliar per tahun,” kata UNODC.
Benedict Hoffman, wakil perwakilan regional UNODC untuk Asia Tenggara dan Pasifik, mengatakan aplikasi tersebut adalah tempat yang mudah dijelajahi oleh para penjahat. “Bagi konsumen, ini berarti risiko data mereka digunakan untuk penipuan atau aktivitas kriminal lainnya lebih besar dari sebelumnya,” kata Hoffman.
Kantor Narkoba dan Kejahatan mengatakan pihaknya telah mengidentifikasi lebih dari 10 penyedia perangkat lunak berkantong tebal yang secara khusus menargetkan geng kriminal yang terlibat dalam penipuan dunia maya di Asia Tenggara.
Laporan tersebut menambah kontroversi seputar aplikasi perpesanan. Prancis baru-baru ini mendakwa pendiri Telegram Pavel Durov berdasarkan undang-undang baru karena diduga mengizinkan aktivitas kriminal terjadi di platform tersebut.
Durov kelahiran Rusia ditangkap di Paris pada bulan Agustus dan dituduh mengizinkan aktivitas kriminal di platform tersebut, termasuk penyebaran gambar eksploitasi anak. Penangkapan ini menyoroti pertanggungjawaban pidana penyedia aplikasi dan memicu perdebatan tentang batasan antara kebebasan berpendapat dan penegakan hukum.