ASN Polri Dimintai Waspadai Penyebaran Paham Radikal di Lingkungan

JAKARTA – Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja di Polri dan keluarganya harus mewaspadai merebaknya kezaliman, terorisme, dan tindakan intoleransi di wilayah sekitarnya. Karena tidak mungkin pemahaman tersebut masuk ke dalam lingkungan kerja dan juga ruang hidup.

Pernyataan tersebut disampaikan Deputi I Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Mayjen TNI Roedy Widodo saat menjadi narasumber pada acara Pelatihan Pencegahan Intoleransi dan Radikalisme Bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) Polri dan Keluarganya. di dalam Mabes Polri Jakarta, Rabu (6/5/2024).

“Untuk mengenali bahayanya agresi, intoleransi, dan terorisme, kita harus menyadari sejak awal sebagai anugerah bagi diri kita sendiri. Bukan hanya kepada anggota ASN atau (polisi), tetapi juga seluruh masyarakat,” kata Roedy Widodo. .

Dalam pelatihan bertema ‘Bersama Melawan Radikalisme Menuju Indonesia Maju’ yang diikuti oleh 120 ASN Polri Mabes secara offline dan seluruh ASN Polri di Polda secara gabungan/online, Roedy Widodo mengungkapkan bahwa pelatihan ini diperuntukkan bagi PNS. dan juga. Anggota Polri pun ikut ambil bagian. Sangat penting untuk memahami bahaya penyebaran gagasan ini.

“Karena dari hasil survei atau survei sebagian besar 72% toleran, tapi sisanya sekitar 30% tidak toleran, baik tidak berguna maupun aktif dan 5% terpapar. mencegah hal yang seharusnya terjadi karena aksi terorisme yang terjadi di Indonesia menyasar perempuan, generasi muda, dan anak-anak,” kata Akmil, alumnus angkatan 1990 itu.

Menurutnya, dalam melindungi ASN Polri dan keluarganya dari pengaruh terorisme dan intoleransi, mereka harus membekali diri dengan informasi yang baik atau solid untuk mampu meningkatkan ketahanan atau imunitas masyarakat agar tidak terpapar paham radikal. .

“Sama seperti kita menghadapi Covid-19, agar tidak terkena Covid-19 kita perlu diobati dengan vaksin. Alasan mengapa kita tidak terlindung dari keyakinan tersebut adalah karena kita harus dibekali “berbagai jenis ilmu atau pengalaman terkait bahaya moral sejak kecil”, kata mantan Kepala Badan Perencanaan, Hukum, dan Humas BNPT ini. .

Roedy menjelaskan, berdasarkan hasil penelitian, saat ini perempuan, generasi muda, dan anak-anak menjadi sasaran kelompok radikal, teroris, dan intoleran. Metode rekrutmen yang dilakukan saat ini memanfaatkan kemajuan teknologi informasi, internet melalui platform media sosial.

Karena geng-geng ini tidak lagi mencari orang secara langsung seperti dulu, melainkan menggunakan perangkat digital atau internet menggunakan jejaring sosial seperti WhatsApp, Telegraph dll. Utamanya pada tiga kelompok paling rentan yaitu perempuan. , muda dan anak-anak,” ujarnya.

Mantan Dandim 0603/Lebak ini mengurusi ASN dan juga anggota Polri ke depannya. Untuk lebih mewaspadainya, proses penyidikan yang dilakukan kelompok teroris dirinci sebagai upaya menghilangkan gagasan atau bahaya intoleransi, radikalisme, dan terorisme sejak awal.

“Karena pegawai Polri adalah pengawalnya. Beberapa aparat Polri yang kami miliki saat ini adalah mereka yang menjaga masjid-masjid di lingkungan Polri.

Dia meminta Aparat Polri memahami masyarakat bahwa bahaya terorisme itu sangat nyata, tidak sekedar ‘dilaporkan’, tapi nyata dan nyata, sehingga harus diketahui secepat mungkin, secepat mungkin untuk memerintahkan penyerangan. Sebab kekuatan atau kekuatan masyarakat dan kesadaran masyarakat berasal dari masyarakat.

“Karena untuk menyelesaikan terorisme tidak hanya dilakukan oleh BNPT saja, tetapi oleh semua pihak yang terlibat di masyarakat dan seluruh masyarakat dengan pendekatan pentahelix yang meliputi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kemudian masyarakat atau banyak organisasi, ketiga termasuk media, keempat BUMN, BUMD atau “perusahaan dan lima mahasiswa berkolaborasi dalam proyek pentahelix”, tutupnya.

Sementara itu, mantan narapidana terorisme dari kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Poso, Hendo Fernando yang turut hadir sebagai narasumber mengungkapkan, intoleransi, radikalisme, dan terorisme merupakan perilaku yang tidak berdiri sendiri. Ada langkah yang harus ditempuh yaitu intoleransi, radikalisme, dan terorisme.

“Jadi ada proses yang pertama-tama kita tidak bisa menoleransi kelompok masyarakat tertentu yang merasa berada di kelompok ekstrim kanan, tidak mau menghargai perbedaan yang ada, menganggap agama lain salah, dan tidak mau mengakui agama lain. Republik Indonesia atau ini pemerintahnya sepenuhnya wajar dan seterusnya.

Dalam rangkuman yang dihadiri para pimpinan masjid di kompleks Polri itu, ia mengingatkan para peserta untuk mewaspadai ajaran Salafi dan Wahabi yang mereka ikuti melalui berbagai kitab sebagai orang pertama yang bergabung dalam jaringan teroris. .

“Jadi buku-buku inilah yang saya gunakan dan pada akhirnya buku-buku tersebut menjadi referensi bagi saya yang membawa saya bergabung dengan teroris. Pihak terkait di lingkungan Polri juga harus menyikapi setiap buku yang dipelajari di kepolisian. masjid “Buku-buku yang berserakan harus diperiksa karena buku-buku itu menjadi referensi kita, kalau kita masuk jaringan teroris, pasti dia masuk ke masjid-masjid di lingkungan Polri,” ujarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *