Boikot Konsumen terhadap Israel Dorong Pertumbuhan Merek Lokal di Indonesia dan Malaysia

krumlovwedding.com, JAKARTA – Boikot terhadap merek-merek Barat yang diduga memiliki hubungan dengan Israel berdampak besar di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia dan Malaysia. Tekanan dari pelanggan ini menyebabkan merek internasional seperti KFC, McDonald’s, Pizza Hut, Starbucks dan Unilever mengalami penurunan penjualan, sekaligus membuka peluang besar bagi pesatnya pertumbuhan merek lokal.

Salah satu contoh kesuksesan tersebut adalah Almaz Fried Chicken yang dikenal dengan sebutan “Saudi Fried Chicken”. Hanya dalam waktu beberapa bulan, jaringan restoran cepat saji ini telah membuka 37 gerai di Indonesia, sebagian besar di wilayah Jabodetabek dan sedikit lainnya di Sumatera.

CEO Almaz Fried Chicken Okta Viravan mengatakan asosiasinya berencana membuka 10 gerai tambahan pada akhir tahun. Restoran ini berhasil menarik konsumen yang sebelumnya memilih produk merek Barat.

“Pelanggan kami merasa bahwa membeli produk Almaz tidak hanya memberi mereka makanan enak tetapi juga berkontribusi untuk tujuan baik,” kata Viravan seperti dikutip Nikkei Asia, Rabu (1/1/2025).

Almaz juga mengalokasikan 5 persen keuntungannya untuk amal, termasuk bantuan ke Palestina, yang semakin menarik konsumen selama konflik yang sedang berlangsung di Gaza.

Di saat yang sama, tren boikot ini juga memberikan keuntungan bagi bisnis lokal di Malaysia. Konsumen beralih ke merek seperti ZUS Coffee dan Gigi Coffee, meninggalkan Starbucks. Bahkan kedai kopi independen pun mengalami peningkatan penjualan hingga 20 persen. Di Indonesia, Fore Coffee dengan cepat memanfaatkan peluang ini dengan memperoleh sertifikasi halal yang berdampak signifikan terhadap penjualan mereka.

“Sertifikasi halal mempunyai dampak signifikan terhadap penjualan kami,” kata CEO Fore Coffee, Vico Lomar.

Survei GlobalData pada bulan Juli 2024 menemukan bahwa hampir 70 persen konsumen di Indonesia dan Malaysia mendukung boikot produk terkait konflik. Boikot ini juga mendorong konsumen untuk lebih memilih produk lokal. Reni Lestari, konsumen asal Jakarta, beralih menggunakan produk lokal bahkan mulai membuat sabun dan sampo.

“Boikot ini mungkin tidak membantu Palestina secara langsung, tapi setidaknya memberikan tekanan ekonomi,” kata Rennie.

Maria, seorang pekerja di Jakarta yang beragama Katolik, juga mendukung boikot tersebut sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan. Ia mengganti produk Unilever dengan merek lokal seperti Wardah.

“Ini bukan hanya soal agama, tapi soal kemanusiaan,” ujarnya.

Para ahli memperkirakan boikot ini akan terus berlanjut selama konflik masih berlangsung. Mohamed Hidayaturrahman, dosen Universitas Wiraraja, mengatakan boikot membuka peluang bagi perusahaan lokal untuk memperkuat posisi pasarnya, meski produk teknologi tinggi seperti ponsel pintar dan mobil masih sulit tergantikan.

Tekanan konsumen ini juga terlihat dari kerugian yang dialami merek-merek internasional. Pizza Hut Indonesia membukukan kerugian Rp 96,7 miliar selama sembilan bulan pertama tahun 2024, sementara KFC Indonesia terpaksa menutup 50 toko dan merumahkan 2.000 pekerja. Unilever Indonesia mengalami penurunan laba sebesar 28 persen menjadi Rp3 triliun.

Di Malaysia, Starbucks membukukan kerugian sebesar 91,5 juta Ringgit Malaysia pada tahun 2024, dan operator KFC dan Pizza Hut terpaksa menunda rencana IPO. Para ahli menyarankan perusahaan-perusahaan ini untuk menyesuaikan strategi, seperti memperkenalkan menu lokal dan melibatkan rantai pasokan lokal untuk memulihkan kepercayaan konsumen.

Tekanan dari konsumen tidak hanya berdampak pada kinerja keuangan perusahaan besar, namun juga menciptakan lingkungan baru bagi industri dalam negeri yang semakin berkembang di Indonesia dan Malaysia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *