Dewan Pers Ungkap Sejumlah Upaya Mengganjal Kebebasan Pers Sejak 2007

JAKARTA – Anggota Dewan Pers Yadi Hendriana menyebut DPRK telah beberapa kali mencoba mengganggu kebebasan pers dalam 17 tahun terakhir sejak tahun 2007 dengan tunduk pada klausul tertentu. membungkam pers.

Pekerjaan ini konon dimulai setelah disahkannya peraturan terkait pemilu 2009. Saat itu, jurnalis, termasuk media, menolak revisi undang-undang tersebut.

“Itu sudah masuk dalam UU Pemilu tahun 2007. Di sana, Dewan Pers bersama seluruh organisasi jurnalistik mengembalikan sejumlah artikel yang dilarang terbit di sana. Kemudian dihapus (pasal bermasalah) karena penolakan,” ujarnya. Yadi dalam debat publik dengan topik “Mempertanyakan Revisi UU Penyiaran yang Dapat Mengancam Kebebasan Media”, Jakarta, Rabu (15/05/2024).

Yadi menjelaskan, upaya serupa kembali dilakukan pada tahun 2012 untuk persiapan pemilu 2014.

Komitmen Pak Feri terhadap Kurnija sah di KPU dan disepakati pasal tersebut tidak digunakan di PKPU, lanjutnya.

Tak hanya itu, ada juga upaya untuk menekan kebebasan media dalam Usulan UU Pembukaan Kerja, dan juga terdapat pengaturan terkait pers, termasuk denda. Saat ini, organisasi jurnalistik mencoba bertemu dengan faksi-faksi di DPRK dan mendapat tanggapan bahwa ada orang di DPRK yang akan mengirimkan artikel tersebut.

“Mereka memang tahu ada kesalahan, mereka dalangnya. Faktanya, kami adalah oknum yang mempublikasikan artikel tersebut ketika kami bertanya kepada beberapa petinggi DPRK,” jelasnya.

Namun, Yadi mengatakan, pihak yang mencoba merampas kebebasan pers belum diketahui identitasnya. Yadi mengatakan organisasi berita belum bisa memastikan siapa yang bertanggung jawab atas upaya tersebut.

Jadi kita belum tahu siapa orang itu sampai saat ini, karena orang Korea Utara juga kaget dengan artikel ini. Artinya teman-teman kita di Korea Utara juga tidak mengerti kenapa dimasukkan, katanya.

Oleh karena itu, ditengarai dalam 17 tahun terakhir ada oknum yang merugikan kebebasan dan independensi pers serta menilai pers terlalu bebas. Padahal, menurutnya, kebebasan pers merupakan anugerah terbesar demokrasi di Indonesia.

“Mereka lupa bahwa Indonesia bisa begitu besar dan demokrasi bisa begitu besar, tapi selama ada kebebasan, masyarakat bisa mendapatkan informasi yang berimbang, apapun kelebihan dan kekurangan pers. Mereka menganggap kebebasan berekspresi dan pers ini terlalu gratis, membawa manfaat yang luar biasa”, tandasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *