krumlovwedding.com, JAKARTA — Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai awal tahun depan menuai perdebatan. Dampaknya diperkirakan akan mempengaruhi daya beli masyarakat dan pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Direktur Pengembangan Big Data Institute for Economic and Financial Development (Indef) Eko Listiyanto mengingatkan, meski kenaikan PPN ditujukan untuk meningkatkan penerimaan negara, namun kebijakan tersebut berpotensi merusak situasi perekonomian yang ada.
“Ketika kondisi konsumsi menurun dan PPN meningkat maka daya beli masyarakat akan menurun. Konsumsi yang merupakan penopang penting pertumbuhan ekonomi bisa terkena dampaknya. Hal ini dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi,” kata Eko dalam pidatonya di depan umum. Dialog bertema ‘Pedoman Kebijakan Menuju Perekonomian 8 Persen’ dilaksanakan secara online, Senin (18/11/2024).
Konsumsi rumah tangga diketahui menyumbang lebih dari separuh Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan menjadi penopang utama perekonomian. Dengan kenaikan PPN maka harga kebutuhan pokok bisa naik dan belanja masyarakat bisa turun.
Situasi tersebut, menurut Eko, dapat menghambat pemulihan ekonomi, apalagi konsumsi rumah tangga Indonesia pada tahun 2023 hanya tumbuh 4,9 persen, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5 persen.
Sementara itu, Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus menceritakan hasil simulasi yang dilakukan lembaganya terhadap dampak kenaikan PPN sebesar 12 persen. Berdasarkan perhitungan Indef, kenaikan PPN ini mampu menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,17 persen dan konsumsi rumah tangga sebesar 0,26 persen.
“Kalau pertumbuhan ekonomi diperkirakan 5 persen, maka setelah PPN naik hanya 4,83 persen,” jelas Heri.
Selain itu, kenaikan PPN juga meningkatkan biaya produksi sehingga dapat menghambat dunia usaha. Dengan lambatnya permintaan, perusahaan dapat mengurangi tenaga kerja atau jam kerjanya, sehingga berdampak pada pendapatan dan konsumsi masyarakat.