Jejak Kaki Manusia Purba Usia 1,5 Juta Tahun Ditemukan di Kenya

krumlovwedding.com, JAKARTA – Penemuan kuno di lanskap gersang di bagian utara Kenya menawarkan wawasan baru tentang evolusi manusia. Para ilmuwan telah menemukan jejak kaki berusia 1,5 juta tahun, memberikan bukti langsung pertama bahwa dua spesies manusia purba yang berbeda mungkin pernah berbagi wilayah dan sumber daya.

Studi menarik ini, yang diterbitkan dalam jurnal Science, berfokus pada serangkaian jejak kaki fosil yang ditemukan di dekat Danau Turkana, ET-2022-103-FE22 (disingkat FE22). Penemuan jejak kaki ini dinilai istimewa bukan hanya karena usianya, tetapi juga karena memberikan informasi tentang interaksi dan pola pergerakan manusia purba.

Situs ini melestarikan rangkaian jejak kaki dari satu individu dan tiga jejak kaki terpisah dari individu berbeda, semuanya tertanam di tanah basah dan berlumpur di tepi danau kuno. Selain jejak kaki manusia, terdapat jejak berbagai hewan, antara lain burung besar yang diyakini merupakan keturunan marabou purba, serta sapi dan hewan sejenis (anggota keluarga kuda).

Namun yang membuat penemuan ini menarik adalah perbedaan nyata antara jejak kaki tersebut. Sebuah tim peneliti yang dipimpin oleh Kevin Hatala dari Universitas Chatham menemukan dua gaya berjalan berbeda yang terawetkan di jejak kuno ini. Satu rangkaian jejak menunjukkan ciri-ciri yang mirip dengan jejak kaki manusia modern, sedangkan rangkaian lainnya menunjukkan cara berjalan yang sangat berbeda.

“Jejak kaki fosil sangat menarik karena memberi kita gambaran jelas yang menghidupkan fosil kerabat kita,” kata Kevin Hatala, penulis pertama studi tersebut dan profesor biologi di Universitas Chatham.

“Dengan data seperti ini, kita bisa melihat bagaimana orang-orang yang hidup jutaan tahun lalu berpindah-pindah di lingkungannya dan mungkin berinteraksi satu sama lain atau dengan hewan lain. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa kita dapatkan dari tulang dan peralatan batu,” ujarnya. . . Hasil penelitian tersebut dilaporkan pada Senin (2/12/2024).

Melalui analisis cermat menggunakan teknologi pencitraan 3D canggih, tim peneliti mengidentifikasi dua pola pergerakan berbeda pada jejak kaki manusia. Jejak yang berurutan menunjukkan bukti manusia berjalan dengan kecepatan 1,81 meter per detik, namun dengan mekanisme kaki yang sangat berbeda dengan manusia modern. Trek ini lebih datar dan menunjukkan cap jempol yang lebih mobile. Sebaliknya, jejak kaki yang terisolasi lebih mirip dengan pola kelengkungan dan keselarasan jari kaki yang ditemukan pada kaki manusia modern.

“Dalam antropologi biologi, kami selalu tertarik untuk menemukan cara baru untuk mengekstraksi perilaku dari catatan fosil, dan ini adalah contoh yang bagus,” kata Rebecca Ferrell, direktur program di National Science Foundation.

Perbedaan ini penting karena menunjukkan bahwa jejak ini dibuat oleh dua spesies manusia purba yang berbeda: Homo erectus dan Paranthropus boisei. Homo erectus sering dianggap sebagai nenek moyang langsung kita dan diperkirakan berjalan seperti manusia modern. Sementara itu, Paranthropus boisii merupakan spesies yang lebih kuat, dengan bentuk tubuh yang berbeda dan, seperti yang ditunjukkan oleh jejak kaki ini, cara berjalannya juga berbeda.

Pemandangan di tepi danau tempat jalur ini dilestarikan memberikan gambaran langka tentang kehidupan kuno yang membeku dalam waktu. Jejak kaki ini dibuat dalam rentang waktu beberapa jam atau hari, yang menunjukkan bahwa kedua spesies tersebut tidak hanya hidup di wilayah yang sama, namun secara aktif menggunakan lokasi yang sama pada waktu yang sama.

Yang sangat menarik adalah pola hidup berdampingan ini terulang pada fosil-fosil dari wilayah tersebut antara 1,4 dan 1,6 juta tahun yang lalu. Beberapa situs menyimpan bukti dari dua perjalanan yang berbeda ini, yang menunjukkan bahwa ini bukanlah pertemuan sederhana, namun merupakan pola berkelanjutan dari penggunaan habitat bersama.

“Ini membuktikan tanpa keraguan bahwa bukan hanya satu, tapi dua hominin berbeda yang berjalan di permukaan yang sama dalam waktu beberapa jam satu sama lain,” kata para peneliti.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *