Kekejaman Raja Mataram Picu Pemberontakan Bangsawan Madura hingga Hancurkan Ibu Kota Plered

KARAKTER Sultan Amangkurat I saat memerintah Kerajaan Mataram menimbulkan ketidaksenangan banyak pihak. Saat itu, sosok Sultan Amangkurat I kerap menuai kontroversi dan konflik di lingkungan istana kerajaan.

Ketidakpuasan dikatakan muncul di timur Dominion. Saat itu, Trunojoyo yang merupakan penggagas pemberontakan terhadap ibu kota kerajaan menghancurkan Keraton Plered. Serangan selama lima hari itu menyebabkan ibu kota kerajaan yang megah itu hancur.

Trunajaya adalah seorang bangsawan dari Madura yang menyerbu kerajaan Mataram.

Penyerangan ke Mataram ini juga didukung oleh sekutu Maduro yang sebagian besar berasal dari Makassar. Sebelum menghancurkan ibu kota Mataram Plered, pasukan Trunojoy terlebih dahulu bergerak dengan menyerang beberapa wilayah yang dikuasai Mataram di pantai utara Jawa pada tahun 1676.

“Perang pertama antara prajurit Trunojoy dengan Mataram terjadi di Gedodog pada tahun 1676. Saat itu, prajurit Trunojoy mampu menang dan perlahan tapi pasti menguasai wilayah utara Pulau Jawa yang berada di bawah kekuasaan Mataram,” seperti dikutip dari “Tuah Bumi Mataram: Dari Panembahan Senopati Hingga Amangkurat II”.

Bahkan konon penyerangan ini memaksa Sultan Amangkurat I mengungsi kembali ke Plered. Namun sayang dia meninggal di tempat pelariannya.

Sejarah menunjukkan bahwa Pemberontakan Trunojoyo disebabkan oleh kepemimpinan Sultan Amangkurat I yang bersifat diktator dan kejam terhadap lawan politiknya. aku

Hal ini menimbulkan banyak ketidakpuasan di wilayah Mataram saat itu, termasuk Madura.

Banyak bangsawan dan ulama yang menjadi korban kekejaman Sultan Amangkurat I.

Bahkan, beberapa tokoh yang dibalsem Amangkurat I merupakan tokoh terpandang di Jawa Timur, termasuk ayah Trunojoy, Raden Demang Melayakusuma.

Mertua Sultan Amangkurat I, Pangeran Pekik yang merupakan putra Adipati Surabaya, juga dieksekusi oleh Raja Mataram keempat.

Pembantaian anak-anak bangsawan Jawa Timur memicu masalah permusuhan yang serius antara Amangkurat I dengan masyarakat Jawa Timur.

Buktinya, setelah Amangkurat I meninggal, putranya Amangkurat II juga harus menanggung konflik yang ditimbulkan oleh ayahnya.

Raden Trunojoyo merupakan keturunan penguasa Maduro yang terpaksa tinggal di Keraton Mataram setelah kekalahan dan aneksasi Mataram pada tahun 1624.

Setelah ayahnya Trunojoyo dieksekusi oleh Amangkurat I pada tahun 1656, ia meninggalkan Keraton Mataram dan pindah ke Kajoran. Ia kemudian menikah dengan putri Raden Kajoran, kepala keluarga penguasa di sana.

Keluarga Kajoran sendiri merupakan keluarga ulama zaman dahulu yang kemudian menikah dengan keluarga kerajaan.

Sebagai tokoh agama, Raden Kajoran merasa prihatin dengan kejam dan kejamnya pemerintahan Amangkurat I, termasuk eksekusi para bangsawan di keraton.

Hal ini memicu niat kaum bangsawan di Jawa Timur untuk memberontak terhadap kerajaan Mataram.

Apalagi pasukan Trunojoy juga diperkuat oleh pasukan dari Makassar pasca jatuhnya Makassar ke tangan VOC. Para perantau Makassar ini akhirnya bergabung dengan pasukan Trunojoy saat melancarkan pemberontakan di Mataram.

Tercatat sekitar 9.000 orang yang terdiri dari pejuang Makassar, bangsawan Jawa, dan Madura ikut serta dalam Pemberontakan Mataram.

Hal ini akan menyebabkan jumlahnya meningkat secara signifikan. Bahkan para penguasa Giri yang notabene pengikut Sunan Giri juga ikut berperang pada tahun 1676 dan melancarkan pemberontakan di Mataram.

Mertua Trunojoy, Raden Kajoran, cukup berpengaruh dalam mengumpulkan pasukan dalam jumlah besar tersebut.

Bahkan, ia dan pasukannya juga ikut bergabung setelah kemenangan Trunojoyo Gegodog pada September 1676.

Pemberontakan ini semakin kuat setelah jatuhnya ibu kota Mataram pada tahun 1677, ketika Pangeran Sampanga yang kemudian bernama Cakraningrat II bergabung dengannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *