Keputusan Bisnis Dikriminalisasi, Direksi BUMN Tak Akan Berani Ambil Risiko

JAKARTA – Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak akan bisa berkembang jika keputusan bisnisnya dikriminalisasi. Pakar hukum Profesor Hikmahanto Juana menjelaskan, akan sulit bagi direksi perusahaan, khususnya BUMN, untuk sukses karena takut akan kejahatan jika keputusan bisnisnya menimbulkan kerugian.

Makanya dia (Direktur BUMN) datar saja, tidak mau ambil risiko. Para pemimpin ini bukanlah pengambil risiko, namun mereka menghindari risiko. Dia menghindari risiko. Hal ini membuat BUMN kesulitan mencetak saham dalam jumlah besar. Lakukanlah berbagai inovasi dan perluasan yang diperlukan,” kata Hikmahanto Katadata.

Meski demikian, Guru Besar Universitas Indonesia itu juga menegaskan, tindakan tegas tetap harus dilakukan jika para pemimpin terbukti “serius” dalam menangani kasus penipuan. Menurutnya, kerugian merupakan bagian dari risiko bisnis.

Hikmahanto mengatakan, jika keputusan bisnis dikriminalisasi, maka BUMN tidak akan bisa berkembang karena para pemimpinnya takut akan hukuman pidana.

“Sutradara itu bukan peramal, dia tidak tahu ada simbol-simbol yang dibuat, bahkan profesional pun ikut terlibat, (lalu) dia mengambil keputusan, tapi tiba-tiba ada perang, atau tiba-tiba rupee naik, atau terjadi Covid. Dia tidak bisa memprediksi,” kata Hickmahanto.

Jaksa Agung Muda dan Wakil Tata Usaha Negara Feri Wibisono sepakat kerugian perseroan bukan menjadi tanggung jawab direktur. Ferrie mengatakan kerugian perusahaan bukan menjadi tanggung jawab direksi atau pejabat, sedangkan kerugian terjadi berdasarkan keputusan yang diambil atas kebijaksanaannya.

“Keputusan diambil sesuai kewenangan, tidak ada benturan kepentingan dan benar-benar demi kepentingan terbaik perusahaan. Oleh karena itu, jika terjadi kerugian dan memenuhi Peraturan Hakim Bisnis, maka itu adalah kerugian bisnis. Tidak ada risiko hukum bagi pemangku kepentingan. “, ujar Feri.

Ekonom senior Faisal Basri mengatakan kriminalisasi keputusan bisnis BUMN merupakan akibat buruknya penegakan hukum di Indonesia. Menurut Faisal, negara berkembang atau maju sudah mempunyai rekam jejak kelembagaan yang baik. “Jadi kalau Indonesia punya institusi yang buruk, mustahil perekonomiannya bagus,” kata Faisal.

Faisal menilai, kejadian yang menimpa mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiyavan bisa menjadi ancaman bisnis bagi para pembuat film. “Selain Bu Karen, yang terpenting saat ini adalah direksi Pertamina tidak mau ambil risiko karena takut dengan situasi Bu Karen. Itu faktanya. Lihat sekarang, produksi minyak hanya 606.000 barel. sehari,” katanya.

Martiono Hadianto, Direktur Utama Pertamina periode 1998-2000, mengatakan permasalahan Business Judgement Rule adalah penggunaan direksi dalam mengambil keputusan bisnis. Aturan penilaian bisnis adalah prinsip yang melindungi wewenang direktur perusahaan dalam mengambil keputusan.

Menurut prinsip ini, direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas keputusan yang salah atau menimbulkan kerugian bagi perseroan. Perlu diingat bahwa keputusan ini tidak mempunyai benturan kepentingan, tidak dipengaruhi oleh itikad buruk, dan kerugian yang diakibatkannya bukan karena kelalaian.

Aturan pemidanaan bisnis terungkap dari persidangan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiyavan periode 2009-2014 sebagai tersangka korupsi. Karen Agustiyavan didakwa melakukan korupsi pengadaan gas alam cair (LNG).

Karen dituding membuat perjanjian kerja sama pasokan gas secara sepihak dengan perusahaan asing yang mengakibatkan kerugian Rp 2,1 triliun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *