Kisah Perjanjian Giyanti, Siasat VOC Pecah Belah Kesultanan Mataram Islam Jadi Dua

VOC Belanda berhasil memecah belah Kesultanan Mataram Islam melalui serangkaian perjanjian, yang paling terkenal adalah Perjanjian Giyanti. Perjanjian ini, bersama dengan beberapa perjanjian lainnya, membagi batas wilayah kerajaan di Jawa tengah dan selatan.

Setelah perjanjian Giyanti ditandatangani pada 13 Februari 1755, wilayah Kesultanan Mataram Islam terus meluas. Perjanjian ini membagi wilayah Mataram di selatan-tengah Jawa menjadi dua kelompok.

Yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat. Hal ini disarikan dari “Banteng Terakhir Kesultanan Yogyakarta: Sejarah Raden Ronggo Prawirodirjo III dari Madiun, sekitar tahun 1779 – 1810”.

Pada tahun 1755 hingga 1756, Pangeran Mangkubumi yang mendirikan istana sementara di Gamping, sebelah barat Yogyakarta sejak tahun 1749, diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono I.

Ia mendirikan istananya di kawasan yang dahulu bernama Hutan Beringan, kini dikenal dengan Keraton Yogyakarta. Pembagian Mataram dilanjutkan dengan Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757.

Dalam perjanjian tersebut Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa (1726-1795), diangkat menjadi Pangeran Miji atau setingkat penguasa dan menerima wilayah Kasunanan di Surakarta dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Ario Adipati Mangkunegoro I yang memerintah pada tahun 1757 hingga 1795.

Meski pemekaran Jawa yang terjadi dua kali pada pertengahan abad ke-18 dimaksudkan untuk meredakan ketegangan, namun tidak semua pihak merasa puas. Pangeran Singosari (1727-1768) termasuk salah satu yang tidak puas.

Singosari, putra Susuhunan Amangkurat IV (memerintah tahun 1719 hingga 1726), masih dianggap sebagai adik tiri Sultan Hamengkubuwono I dan paman Pakubuwono III. Pangeran Arya juga dikenal sebagai Prabujaka atau Prabujaya.

Ia memulai pemberontakan terhadap istana saudara tirinya, Pakubuwono II di Kartasura, pada usia 16 tahun pada tahun 1743. Setelah Perjanjian Giyanti, ia tidak mau bergabung dengan sultan atau Sunan saat itu.

Bersama putranya, ia pergi ke Malang dan melekatkan diri pada penguasa setempat, Raden Tumenggung Malayakusuma, yang saudara perempuannya dinikahinya. Sultan Hamengkubuwono I dan Sunan Pakubuwono III tidak berminat melawan Pangeran Singosari.

Namun, mereka tetap berusaha membuat sang pangeran menyerah. Sultan beberapa kali mengirimkan utusan untuk membujuk Pangeran Singosari agar menyerah dan menjanjikan kehidupan yang baik di ibu kota kesultanan.

Tentu saja ajakan tersebut tidak menggoyahkan Pangeran Singosari. Sultan kemudian meminta pendapat salah satu pejabat tumenggungnya, yang menyarankan untuk meminta bantuan Kiai Ageng Muhammad Besari dari Perdikan-Pesantren Tegalsari.

Sultan Hamengkubuwono I mengirimkan pasukan di bawah komando Raden Ronggo Prawirodirjo I untuk menyerang pemberontak pada malam hari.

Serangan pertama tidak berhasil dan Pangeran Singosari beserta pasukannya mundur ke wilayah Malang. Pasukan Jawa dan VOC berangkat bersama-sama ke pegunungan selatan Malang untuk mengejar Pangeran Singosari dan pasukannya.

Setelah sampai di Srengat (sekarang Kabupaten Blitar), rekan-rekan prajurit mendirikan kemah. Akhirnya pada tanggal 16 Juli 1768, Pangeran Singosari menyerah setelah 40 orang prajurit dari Jawa dan VOC Belanda memasuki kampnya.

Ia memperkenalkannya di meja perundingan dengan mengajukan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Keberhasilan penangkapan Pangeran Singosari menunjukkan kuatnya pengaruh dan peran Kiai Perdikan Tegalsari saat itu, serta efektivitas strategi VOC dalam memecah belah wilayah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *