Media Sosial Dorong Seseorang untuk Flexing, Mengapa Demikian?

JAKARTA – Media sosial (medsos) merupakan istilah yang mengacu pada teknologi digital yang memungkinkan setiap orang terhubung, terkoneksi, dan berkirim pesan. Kurangnya kebijakan penggunaan media sosial dapat menimbulkan berbagai dampak negatif. Salah satunya adalah transportasi yang fleksibel.

Melenturkan mengacu pada perilaku pamer atau pamer, yang “melebih-lebihkan atau melebih-lebihkan sesuatu” menurut Australian Institute of Professional Counsellors. Orang yang suka menyombongkan diri karena percaya pada kekayaan dan kesuksesan yang akan berdampak pada orang lain.

Dalam kejadian yang viral di media sosial baru-baru ini, seorang mahasiswa kedapatan memamerkan kekayaannya di akun media sosialnya, meski mendapat Kartu Perguruan Tinggi Indonesia Pintar (KIP-K). Tren ini menimbulkan perdebatan sengit di kalangan pengguna internet. Banyak yang mempertanyakan kelayakan mahasiswa tersebut sebagai penerima bantuan biaya pendidikan KIP-K.

Dosen Universitas Teknologi Maju dan Multidisiplin (FTMM) Universitas Airlangga (Unair) Muhammad Noor Fakhruzzaman SKom MSc mengatakan, algoritma media sosial dapat menimbulkan opini yang tidak seimbang terhadap suatu isu.

Selain menyebabkan penggunanya terus berkomunikasi di media sosial, penyalahgunaan media sosial untuk konversi mendorong mereka mencari ‘Dopamine Rush’ atau perasaan bahagia karena diakui orang lain.

“Teori ‘uses and gratifications’ dalam komunikasi massa menjelaskan bahwa pengguna Instagram menggunakan platform tersebut untuk memenuhi kebutuhan yang berbeda-beda. Tidak ada yang istimewa dari pengakuan dan konten influencer orang lain, ini adalah promosi uang,” jelas Instruktur Teknologi Data (TSD) ).

Ruzza mengatakan, dalam beberapa kasus, media sosial bisa menciptakan budaya baru. Hal ini sejalan dengan penelitian Rasika dkk yang menunjukkan bahwa mengekspresikan diri, berbagi pengalaman dan membangun identitas pribadi merupakan kebutuhan yang sangat penting di era digital yang erat kaitannya dengan teknologi dan media sosial.

Penelitian Rasika dkk juga menunjukkan bahwa subkultur yang terbentuk berdasarkan identitas online dapat memberikan dampak langsung dan tidak langsung terhadap orang-orang di dalam dan di luar komunitas.

Oleh karena itu, penting untuk mengurangi paparan media sosial dan berkomunikasi secara rutin tanpa menyertakan media online. “Menurut pendapat saya, ini bisa mendefinisikan kembali arti sosial, daripada melihat metrik keterlibatan seperti suka, pengikut, dan pelanggan,” ujarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *