Melatih Tenaga Pendidik, Mendeteksi Gangguan Kesehatan Mental pada Siswa

JAKARTA – Indonesia – 1 dari 3 remaja Indonesia berusia 10 hingga 17 tahun mengalami masalah kesehatan mental, menurut survei yang dilakukan Survei Kesehatan Mental Remaja Nasional (I-NAMHS) 2022. Indikator ini setara dengan 15,5 juta remaja.

Gangguan jiwa yang paling banyak terjadi pada remaja adalah gangguan kecemasan, fobia sosial, gangguan depresi, gangguan perilaku, gangguan stres pasca trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian (ADHD). Mengingat hampir 20% total penduduk Indonesia berusia antara 10 hingga 19 tahun, hal ini sangat memprihatinkan.

Masalah kesehatan mental pada pelajar dapat menyebabkan gangguan emosi, gangguan konsentrasi, stres bahkan depresi. Oleh karena itu, peran guru dan sekolah sangat penting khususnya dalam pertolongan pertama psikologis (PFA) atau dukungan psikologis primer (DPA) bagi kesehatan mental siswa.

Menyadari pentingnya keterampilan pertolongan pertama pada masalah kesehatan mental, Satkaara Persatuan Guru Gabungan (KGSB) kembali mengadakan pelatihan Pertolongan Pertama Psikologis (PFA) untuk Kelompok II.

Kegiatan pembelajaran ini merupakan kerjasama antara KGSB dan konsultan psikologi Pelangi serta lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dalam rangka Dies Natalis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ke-64. Pelatihan Psychological First Aid (PFA) ini disampaikan sebagai respons terhadap fenomena permasalahan kesehatan mental yang semakin berkembang di kalangan pelajar.

Pelatihan yang bertujuan untuk membekali tim pengajar dengan keterampilan pertolongan pertama gangguan kesehatan mental anak ini dilaksanakan dalam 3 sesi. Sesi pembekalan (27/4), dilanjutkan dengan sesi role-play (4/5) dan sesi latihan mandiri dan review (11/5).

Pelatihan PFA Gelombang II ini diikuti oleh 80 orang guru KGSB yang lolos proses seleksi dan merupakan guru dari berbagai jenjang pendidikan mulai dari PAUD hingga SMA/SMK dan Sekolah Luar Biasa (SLB). Tempat tinggal mereka tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, serta beberapa peserta dari negara tetangga, khususnya Timor.

Narasumber yang turut serta dalam acara ini adalah Reneta Christen, M.Psi – pendiri Konsultan Psikologi Pelangi dan Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya dan Lita Patricia Lunanta, M.Psi, Konsultan Psikologi Pelangi dan psikolog pendidikan. Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul. Selain itu, pelatihan role play juga diikuti oleh 15 orang fasilitator psikologi lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Ruth Andriani, Founder KGSB menjelaskan, kegiatan pelatihan PFA Batch II ini merupakan kelanjutan dari kegiatan serupa yang dilakukan KGSB pada tahun 2022. Tidaklah cukup hanya mengkhawatirkan meningkatnya gangguan mental di kalangan pelajar Indonesia; KGSB ingin berperan dan membantu staf pengajarnya memastikan siswa yang mengidapnya mendapat kesempatan mendapatkan pertolongan pertama yang tepat.

“Kami sangat ingin menarik peserta dari berbagai latar belakang untuk menyampaikan PFA dan pelatihan. “Kami berharap semua orang, tidak harus psikolog profesional, harus mewaspadai potensi gangguan kesehatan mental pada anak dan dapat menggunakan intervensi PFA untuk melindungi kesehatan mental mereka sedini mungkin,” kata Ruth.

Lita Patricia Lunanta, M.Psi, psikolog Pelangi Psychology Consultants sekaligus dosen Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul mengatakan, PFA bisa dilakukan di mana saja. Idealnya, hal ini dilakukan pada kontak pertama dengan klien, atau biasanya segera setelah kecelakaan. “Tapi sejauh yang kami tahu, itu bisa memakan waktu berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan berbulan-bulan lagi,” jelas Lita.

Menonton, mendengarkan, dan terhubung adalah aktivitas utama

Pada sesi role play, peserta dibagi ke dalam kelas-kelas kecil dengan bantuan fasilitator dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Dalam sesi ini, setiap peserta bergantian berperan sebagai guru dan siswa. Mereka diminta untuk mempraktikkan contoh komunikasi yang buruk dan komunikasi yang baik ketika memberikan konseling kepada siswa tentang masalah kesehatan mental.

Melalui permainan ini, peserta dapat memperoleh sudut pandang baru terhadap siswa. Selain itu, mereka dapat langsung mempraktekkan ilmu PFA yaitu ‘Looking, Listening dan Connecting’ yang dijelaskan oleh asisten.

Reneta Christen, M.Psi, Psikolog, pendiri Konsultan Psikologi Pelangi dan dosen Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya menjelaskan prinsip utama kegiatan PFA adalah Watch, Listen dan Refer (Lihat, Dengar dan Rujuk).

Selama masa evaluasi, penting bagi guru untuk terlebih dahulu menilai keadaan kejadian, serta siswa yang membutuhkan bantuan (profil). Risiko (keselamatan dan keamanan siswa yang terlibat) juga harus dapat dinilai, seperti apakah ada cedera fisik, bagaimana kebutuhan dasar dan dasar siswa terpenuhi, dan bagaimana reaksi emosional mereka.

Penilaian selama fase ‘Mendengarkan’ meliputi mendengarkan, memahami, menyelidiki, memuji, dan mengambil keputusan. Guru harus memperhatikan siswa-siswa ini dan secara aktif mendengarkan mereka, memahami perasaan mereka, menenangkan mereka dalam situasi krisis yang mereka derita, mengajukan pertanyaan tentang kebutuhan dan kekhawatiran mereka dan membantu mereka menyelesaikannya dengan segera. untuk memecahkan kebutuhan dan permasalahan mereka.

Fase terakhir yaitu Link, menghubungkan siswa dengan orang atau pihak lain berdasarkan kebutuhannya. Jika pelajar memerlukan perhatian medis, mereka dapat dirujuk ke dokter. Jika siswa memerlukan nasihat lebih lanjut, dapat dirujuk ke konselor atau psikolog. Bila terdapat gangguan psikologis yang memerlukan penanganan lebih lanjut, Anda dapat dirujuk ke psikiater.

Usai pembelajaran role play, para peserta juga diberikan tugas latihan mandiri. Peserta akan berkesempatan merasakan PFA di lingkungan bersama pelajar, keluarga atau kerabat. Para peserta kemudian mempresentasikan laporan pengalaman PFA yang dilakukan dan mempresentasikannya pada sesi review di akhir pertemuan.

Ketua Dies Natalis Psikologi Universitas Indonesia ke-64, Ringking Marina Korah, M.C. Lulusan Psikologi mengungkapkan antusiasmenya untuk ikut menjadi fasilitator dalam pelatihan role play PFA Batch II. . “Kami senang bisa berkontribusi. “Kami berharap pemberian pendidikan PFA dapat membantu guru mengidentifikasi gangguan psikologis pada siswa sejak dini,” tutupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *