Mengurai Benang Kusut Kecelakaan Bus Pariwisata

Tulus Abadi

Pengamat Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik, Ketua Pengurus Harian YLKI periode 2015-2025.

Air mata keluarga korban minibus Gran Max yang jatuh di rumahnya saat Idul Fitri kemarin (12) masih belum kering, kini kembali kepedihan mendalam menyelimuti industri transportasi darat. 11 nyawa melayang dalam kecelakaan bus wisata yang melibatkan sekelompok siswa SMK di Dipok.

Sayangnya, yang bisa mereka lakukan hanyalah bersenang-senang tanpa bermaksud menyakiti hati mereka. Kejadian ini bukan yang pertama kali terjadi, namun sudah berkali-kali terjadi dengan korban jiwa (fatal) dan banyak korban jiwa. Dan tragisnya, pemicu kecelakaan itu hampir sama; yaitu faktor manusia dan faktor teknis. Jika merujuk pada skala sempit, memang kedua faktor inilah yang menjadi pemicu utamanya. Faktor manusia seperti tidur, capek, letih, kurang istirahat. Sedangkan faktor teknis biasanya rem blong atau ban kempes atau vulkanisir ban.

Namun peristiwa ini tidak bisa dilihat hanya dari sudut pandang sempit, melainkan harus dilihat dari kacamata yang lebih luas. Benar, profil manusia menjadi pemicu utamanya, namun yang menjadi pertanyaan mengapa pengemudi yang mengantuk/lelah masih tetap berada di dalam bus. Hal inilah yang perlu dikaji dari sisi kelembagaan dan regulasi. Tidak adil jika menjadikan faktor manusia (alat transportasi) sebagai satu-satunya tersangka atau korban dalam setiap kecelakaan. Terkait dengan hal tersebut, banyak penyebabnya seperti kurangnya perhatian perusahaan terhadap kesejahteraan pengemudi dan alat angkutan.

Selain itu, alat transportasi, khususnya pengemudi, cenderung dieksploitasi. Akibatnya pengemudi tidak mendapat istirahat, kelelahan, tidur dan lain-lain. Pemerintah tidak lagi menetapkan standar jam kerja untuk mengatur jam kerja pengemudi, dan manajemen perusahaan bus pun tidak peduli.

Bandingkan dengan jam kerja seorang pilot atau setidaknya masinis kereta api. Kedua moda transportasi tersebut mempunyai standar jam kerja yang jelas. Misalnya, penerbang hanya boleh menerbangkan pesawat udara paling lama 8 (delapan) jam terbang. Pertanyaannya, apakah level supir bus dan supir truk sudah sedemikian rendah sehingga tidak terjadi jam kerja normal? Sebab, jika terjadi kecelakaan lalu lintas maka yang menjadi korban adalah penumpang dan masyarakat. Dan kecelakaan fatal yang memakan banyak korban jiwa terbukti semakin menonjol di bidang transportasi darat.

Terkait dengan fenomena tersebut, tidak heran jika saat ini jumlah pengemudi semakin berkurang, terutama bagi pengemudi bus AKAP/AKDP dan juga pengemudi truk. Seperti halnya petani, profesi mengemudi bukanlah profesi yang menarik dan tidak memiliki masa depan. Misalnya saja sebuah perusahaan bus besar ternama di Jawa Timur yang mempunyai 260 bus, namun yang beroperasi hanya 130 bus. Alasannya adalah kurangnya pengemudi! Jika fenomena ini terus berlanjut maka akan menjadi fenomena yang berbahaya bagi keselamatan pengguna bus karena pekerjaan pengemudi akan dimanfaatkan oleh perusahaan.

Oleh karena itu, Kementerian Perhubungan juga harus mendorong terwujudnya industri transportasi darat agar lebih kondusif terhadap persaingan yang sehat. Fenomena kelebihan pasokan bus menyebabkan terjadinya persaingan tidak sehat untuk merebut penumpang dan pelanggan. Kementerian Perhubungan sebaiknya meninjau kembali izin yang dikeluarkan untuk bus AKAP dan bus pariwisata agar tidak habis masa berlakunya. Masyarakat lebih tertarik menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan jasa angkutan umum seperti bus, apalagi saat ini pembangunan jalan tol semakin masif dan terkonsolidasi.

Artinya, potensi pasar penumpang bus akan semakin menyusut dan persaingan antar perusahaan bus akan semakin ketat. Persaingan tidak sehat menurunkan kinerja perusahaan bus dalam melayani masyarakat. Hal ini dapat mengurangi biaya pemeliharaan bus atau tidak memberikan insentif yang cukup untuk peralatan transportasi. Dan akibatnya, kinerja armada bus dan alat angkut akan menurun.

Hal mendesak yang tidak boleh diabaikan adalah peningkatan pengawasan oleh regulator pelayanan transportasi di lingkungan Kementerian Perhubungan dan/atau pemerintah daerah masing-masing. Peninjauan tersebut bukan berarti memperketat pelaksanaan studi banding seperti yang dilakukan Pemprov Jabar pasca kejadian di Ciater. Yang perlu dilakukan pemerintah adalah memastikan dan memastikan bus pemerintah dan bus pariwisata telah lolos pemeriksaan KIR sesuai standar. Dan armada bus yang beroperasi aman digunakan.

Kemenhub bisa meminta masyarakat kritis dalam memilih dan menggunakan bus wisata saat hendak bepergian. Namun imbauan tersebut sepertinya memerlukan perubahan tanggung jawab sebagai regulator. Sehubungan dengan tugas regulator, Kementerian Perhubungan harus melakukan pengawasan ketat terhadap seluruh perusahaan bus yang beroperasi, khususnya perusahaan bus kategori AKAP (Antar Kota Antar Provinsi), termasuk bus wisata. Selain itu, menurut data Direktorat Jenderal Kementerian Perhubungan, jumlah bus pariwisata sebanyak 16.297 unit, namun yang terdaftar dalam Sistem Perizinan Online Angkutan Darat dan Multimoda hanya 10.147 unit (62,26 persen). SPIONAM). Dan sisanya sebanyak 6.150 (37,34 persen) belum terdaftar di SPIONAM Direktorat Jenderal Pertanahan Kementerian Perhubungan.

Dengan kata lain, patut diduga bahwa bus-bus yang tidak terdaftar tersebut bermasalah. Artinya, tidak ada jaminan keselamatan dan keamanan saat digunakan oleh pelanggan seperti bus yang mengalami kecelakaan di Ciater.

Penting juga untuk memberikan saksi administratif, sanksi perdata, atau sanksi pidana, atau sanksi berat kepada perusahaan bus yang melanggar. Selama ini perusahaan bus yang melakukan pelanggaran berat belum diberikan sanksi berat seperti pencabutan izin operasional. Atau ajukan kasus terhadap manajemen. Jadi bukan hanya petugas angkutan (terutama pengemudi) yang menjadi korban kecelakaan ini.

Sanksi yang lebih kuat sangat penting untuk memberikan efek jera, mendorong terciptanya perusahaan transportasi yang aman, tenteram dan nyaman bagi penggunanya. Sebaliknya justru menjadi teror bagi penggunanya. Sudah menjadi tugas dan tanggung jawab negara untuk menciptakan perusahaan transportasi yang nyaman, aman dan manusiawi bagi warganya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *