Republika.co.id, Jakarta – PT Mirae Securities Price memperkirakan indeks harga saham komposit (CSPI) mencapai 8.000 di tengah -tengah perang perdagangan potensial pada tahun 2025. MIRA melihat banyak peluang untuk suku bunga.
“Kami berharap JCI berasumsi bahwa ekonomi masih dalam kisaran 5 % selama tahun 2025, meskipun banyak peluang untuk suku bunga (6/12/2024).
Tahun ini, pasar saham Indonesia dikatakan sangat besar dengan rekor JCI 7.905 tertinggi. Posisinya sebelum koreksi mendekati 7.915 aset MIRA untuk tahun 2024, menunjukkan bahwa dinamika pasar masih dipengaruhi oleh perasaan global dan domestik
Sampai tahun 2025, diharapkan pasar modal domestik akan positif berkat penguatan dua faktor ekonomi utama, yaitu inflasi berkelanjutan dan daya beli.
Menurutnya, Indonesia terus menunjukkan penurunan inflasi yang didukung oleh harga pangan. Menurut data Central Statistics Agency (BPS), IHK November 2024 mencatat 0,30 % inflasi ke bulan (MTM), hingga 1,55 % tahun -eear -ear -year (YoY) dari inflasi pada bulan sebelumnya 1,71 % (YOY).
Di masa depan, Rully memperkirakan bahwa harga pangan akan tetap stabil tahun depan, selama tidak ada gangguan cuaca yang parah yang dapat memengaruhi produksi pangan.
Dia melanjutkan: Dengan makan yang berkelanjutan, dampak pajak pertambahan nilai (Pajak Pertambahan Nilai) mengatakan dari 11 % hingga 12 %, yang tidak penting, terutama karena staples yang dikecualikan.
Inflasi yang dikendalikan dikatakan mempengaruhi pembelian daya, terutama di sektor makanan, yang akan menjadi pilar utama kekuatan orang.
“Dengan dukungan prakiraan inflasi terkontrol pada 2,8 persen pada tahun 2025 dan faktor daya pembelian yang kuat, Mirae Asset memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 5 % tahun depan sebesar 5,5 persen pada akhir tahun depan,” kata Rully.
Dia menekankan bahwa pasar modal Indonesia memiliki pandangan positif hingga tahun 2025. Situasi global yang menantang diharapkan menghadapi kebijakan dan sinergi yang tepat oleh semua pemangku kepentingan.
Mengingat tingkat bunga, secara tegas memperkirakan bahwa ruang untuk suku bunga berbasis domestik melalui BI akan lebih terbatas karena kondisi ekonomi makro global, terutama tantangan kebijakan ekonomi pemerintah AS yang baru.
Dia memperkirakan bahwa kebijakan ekonomi yang telah mengajarkan potensi untuk menciptakan perang dagang dengan mitra bisnis utama dan dapat mengganggu kegiatan perdagangan dunia.
“Selain itu, kebijakan ini juga diperkirakan bahwa inflasi telah diciptakan di Amerika Serikat dan telah mengurangi suku bunga tingkat bunga federal (FFR), yang akhirnya memperkuat nilai tukar dolar AS di pasar dunia dan mempengaruhi ekonomi negara itu, termasuk Indonesia,” katanya.