Moderasi Beragama Jalan untuk Ciptakan Perdamaian di Indonesia

JAKARTA – Kehidupan beragama di Indonesia perlu dijalani secara sederhana dengan memperhatikan keberagaman perilaku dan kepercayaan yang ada di wilayah kepulauan Indonesia. Konsep moderasi beragama merupakan cara terbaik untuk mencapai perdamaian, kerukunan, dan persatuan di Indonesia.

Konsep ini bertujuan untuk menempatkan negara dan agama pada pijakan yang sama, sehingga masyarakat dapat menjangkau kedua belah pihak secara setara dan setara. Ketua Program Studi Terorisme Pusat Kajian Strategis dan Global (SKSG) Universitas Indonesia Muhamad Syauqillah tidak setuju jika konsep kontrol agama disamakan dengan sekularisme. Pengendalian agama sendiri terdiri dari empat pilar, yaitu peran nasional yang disesuaikan dengan toleransi, kekuatan, dan kearifan lokal.

“Kontrol agama adalah cara pandang keagamaan yang harus dipegang oleh seluruh masyarakat Indonesia. Kalau dibilang sekularisasi rasanya kurang tepat. Lagipula, dari lembaga itu, Indonesia menempatkan agama pada posisi yang tinggi dalam negaranya. Itu bisa dibuktikan dengan keberadaan lembaga pemerintah bernama Kementerian Agama, jelas Syauqillah, Kamis (30/5/2024).

Dijelaskannya, ada beberapa undang-undang yang bisa dijadikan acuan, karena Indonesia tidak memisahkan agama dari negara. Dengan demikian, konsep toleransi kembar (yang menempatkan konsep agama dan negara sejajar) sangat umum terjadi di Indonesia.

“Kerja sama dan keseimbangan antara negara dan agama ditunjukkan dengan sikap toleransi yang tinggi antar masyarakat. Sinergi tersebut diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan tentang produk halal, penyelenggaraan haji dan zakat, serta tertatanya perbankan syariah di Indonesia. ,” kata Syauqillah.

Ia menilai sangat disayangkan jika menyamakan moderasi beragama dengan sekularisme, karena moderasi beragama sangat menempatkan cara pandang umat beragama terhadap situasi di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kontrol agama merupakan cara Indonesia mengakui kehadiran agama dalam setiap tahapan kehidupan.

Selain memberikan penjelasan mengenai pengendalian agama, Syauqillah juga mengulas bahwa mulai tahun 2023 tidak akan tercatat lagi kasus terorisme di Indonesia. Artinya, tidak adanya kasus terorisme bukan berarti ancaman terorisme dan pengaruh radikalisme di masyarakat Indonesia hilang sama sekali.

“Iya, serangan terorisnya nihil, tapi yang ditangkap mencapai 147 orang. Kalau kita lihat tahun 2024, kita patut bersyukur karena sejauh ini tidak ada serangan teroris. Padahal, kita sudah banyak menahan orang. .. karena orang-orang diduga terlibat dalam organisasi teroris,” ujarnya.

Menurut dia, penangkapan yang terjadi sejak tahun 2023 menunjukkan proses radikalisasi masih terjadi secara sembunyi-sembunyi. Penyebaran ideologi berbasis kekerasan harus dihadang dengan peraturan pemerintah dan peran aktif masyarakat dalam melaksanakan kontrol agama.

Permasalahan terorisme di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, dinilai terkait dengan serangan teroris di Menara Kembar, World Trade Center, Amerika Serikat, pada 9 September 2001. Serangan ini seakan membuka mata banyak pihak. negara tentang kerugian besar yang disebabkan oleh gerakan teroris

Syauqillah menambahkan, selain penyerangan menara kembar WTC, Indonesia juga mempunyai insentif pemberantasan terorisme yang melalui penyebaran informasi mengenai kelompok teroris ISIS telah dilancarkan dengan sekuat tenaga. Mulai dari hancurnya negara Suriah yang menarik perhatian dunia, hingga keterlibatan sebagian warga Indonesia yang “bermigrasi” dan berperang di sana.

Akademisi lulusan Universitas Marmara Istanbul ini mengatakan, konflik Suriah masih menimbulkan permasalahan bagi warga Indonesia yang berada di kamp pengungsi Suriah. Hingga saat ini, belum ada keputusan kapan para pengungsi tersebut akan kembali ke Indonesia.

“Iya, tadi ada 1.000 lebih WNI yang berangkat ke Suriah dan hingga saat ini masih 500 orang yang terjebak di sana,” imbuhnya.

Ia mencontohkan, kehancuran banyak negara di Timur Tengah dan negara lain yang diserbu ideologi transnasional diduga disebabkan oleh penyalahgunaan ayat atau dalil agama untuk kepentingan politik kelompok tertentu. Syauqillah menilai narasi intoleran dan radikal kelompok teroris ini harus diimbangi dengan narasi yang diperhitungkan dalam bentuk moderasi beragama dan menyerukan toleransi.

“Menurut saya, meluasnya politisasi ayat agama yang berujung pada kekerasan harus dilawan, bertentangan dengan narasi yang mengoreksi makna pernyataan agama. Jangan sampai pernyataan agama tersebut digunakan untuk niat jahat kelompok teroris. bertentangan dengan dogma dan semangat agama untuk menyebarkan perdamaian sesama umat manusia,” ujarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *