Penurunan Muka Tanah Masuk Zona Kritis, Jakarta Butuh Ini

JAKARTA – Status Cekungan Air Tanah (CAT) Jakarta kini sudah mencapai zona kritis dan rusak akibat penggunaan air tanah di atas batas normal yang direkomendasikan. Saat ini penggunaan air tanah diketahui telah mencapai 40% dari batas aman sebesar 20%.

Direktur Eksekutif Forum Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Suci Fitria Tanjung mengatakan, jika tidak ada solusi, kerusakan yang terjadi akan menimbulkan berbagai dampak lingkungan, seperti pencemaran air tanah bagian atas dan bawah serta penurunan permukaan tanah.

“Lahan di Jakarta jika dimanfaatkan secara berlebihan akan kehilangan daya dukung negara,” kata Suci dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa (14/05/2024).

Dampak yang paling terlihat, kata Suci, adalah kondisi geologi di Jakarta Utara yang sudah berada 4 meter di bawah permukaan laut. Suci mengatakan, salah satu cara mengendalikan penurunan permukaan tanah adalah dengan mengendalikan pengambilan air tanah dalam.

Ia melanjutkan, aturan zona larangan air tanah sudah dikeluarkan beberapa tahun lalu, khususnya di kawasan protokol seperti kawasan Kuningan. Namun hal itu saja belum cukup mengingat 90% wilayah Jakarta ditutupi beton.

Menurut dia, harus ada daerah aliran sungai yang mengalir ke tanah dalam. Oleh karena itu kami Walhi Jakarta mendukung pemerintah untuk memaksimalkan ruang hijau, kata Suci.

Selain itu, Suci mengatakan pemerintah harus serius menangani pengelolaan air untuk kebutuhan Jakarta.

Berdasarkan data PAM Jaya pada tahun 2023, kebutuhan air di DKI Jakarta saat ini mencapai 24.000 liter per detik, sedangkan kapasitas produksi PAM Jaya hanya 20.225 liter per detik. Kekurangan ini tentunya menyebabkan defisit kebutuhan air bersih sekitar 4.000 liter per detik.

Di sisi lain, menurut laporan yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2022, proporsi rumah tangga yang mempunyai akses terhadap sumber air minum yang cukup dan berkelanjutan adalah sekitar 97,93%, sedangkan pasokan air bersih hanya sekitar 65,41%. .

“Itu tidak cukup. “Ini masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan per kapita Jakarta,” kata Suci.

Sementara itu, Ketua Lembaga Pengairan Indonesia Firdaus Ali berpendapat perlunya peningkatan kapasitas produksi dan pembangunan jaringan pipa distribusi baru untuk memenuhi kebutuhan air bersih Jakarta.

Pemprov DKI Jakarta melalui BUMD PAM JAYA menargetkan tercapainya 100 persen akses air keran bersih pada tahun 2030. Namun untuk mencapai tujuan ini, diperlukan konversi air tanah menjadi air keran bersih yang dilakukan oleh masyarakat atau pemilik bangunan, serta diperlukannya investasi besar untuk menyambung pipa ke wilayah yang cenderung lebih sulit diakses.

Menurut Ali, asal pemerintah meluruskan jaringan pipa terlebih dahulu lalu mengeluarkan aturan yang jelas maka permasalahan tersebut bisa teratasi. Sekadar mengeluarkan larangan tanpa menawarkan solusi pasti akan memancing reaksi balik.

“Sampai ada cukup air dari pipa, kami tidak mungkin melakukan upaya pengendalian di darat,” kata Ali.

Ali mengaku yakin target tahun 2030 akan tercapai. Selain itu, pemerintah provinsi harus mencari sumber air baku alternatif. Saat ini, kata Ali, 82% kebutuhan air Jakarta berasal dari Bendungan Jatiluhur dan 16% sisanya berasal dari Tangerang.

Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah pemeliharaan jaringan air minum, termasuk persoalan kebocoran, baik yang bersifat administratif maupun teknis.

“Kebocoran teknis akibat perbaikan dan penggantian pipa lama karena pipa sudah tua, kebocoran administratif, pencurian air dan lain-lain perlu dicek,” pungkas Ali.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *