krumlovwedding.com, JAKARTA – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. Salah satunya adalah budaya pernikahan tawanan yang diberi nama Kabupaten Sumba Barat.
KemenPPPA menyambut baik diluncurkannya kesepakatan bersama dengan Tokoh Adat Sumba Tengah untuk menghentikan praktik budaya perkawinan tawanan. “Kesepakatan ini merupakan penegasan keseriusan semua pihak mulai dari pemerintah daerah, lembaga masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat dalam mengakhiri kawin paksa atas nama budaya,” kata Deputi Hak Perempuan Kementerian. PPPA. Ratna Susianawati dalam siaran persnya, Selasa (14/5/2024).
Upaya perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan diperkuat dengan UU No. 12 tentang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) adopsi. UU TPKS menyebutkan kawin paksa merupakan salah satu bentuk tindak pidana kekerasan seksual. Ratna menilai kesepakatan bersama ini merupakan kelanjutan positif dari penandatanganan MoU 2020 antara empat bupati di Provinsi Sumba.
“Hal ini perlu kita kawal bersama agar semua pihak dapat terlibat dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan, khususnya masih maraknya praktik kawin tawanan,” kata Ratna.
Ratna menggerakkan pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak (UPTD PPA) di tingkat provinsi dan kabupaten sesuai amanat UU TPKS. Dengan terbentuknya UPTD PPA, diharapkan korban kekerasan dapat memperoleh layanan yang cepat, akurat dan komprehensif sesuai kebutuhannya.
Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan, mengatakan pernikahan yang diawali dengan kekerasan akan berdampak tidak sehat terhadap kelangsungan rumah tangga. Oleh karena itu, upaya transformasi budaya dan transformasi pola pikir yang dilakukan di Sumba Tengah patut diapresiasi dan terus didukung oleh semua pihak.
Komnas Perempuan telah melakukan analisis terhadap pernikahan yang ditangkap tersebut. Nantinya, musyawarah bersama akan menghasilkan rekomendasi umum penanganan kasus penangkapan dan kawin paksa yang dapat menjadi acuan bagi petugas kepolisian (APS) dan pendampingnya.
“Mudah-mudahan permasalahan pernikahan tawanan ini tidak berlanjut di masa depan karena akan menimbulkan trauma bagi perempuan yang terlibat serta laki-laki yang membantu membangun rumah tangga dan mempengaruhi kehidupan dalam jangka panjang,” kata Andy.