krumlovwedding.com, JAKARTA – Psikolog Livija Iskandar mengingatkan siswa untuk segera mencari pertolongan jika mengalami kekerasan di sekolah. Salah satu caranya adalah dengan melaporkannya kepada tim pencegahan dan manajemen kekerasan (VPM) yang ditugaskan di sekolah.
“Sekarang setiap sekolah punya TPPK. Ada perwakilan guru dan komite sekolah. Kalau kita merasa di-bully, bikin cemas, tidak bisa tidur, dari guru pun, dari teman pun kita dilecehkan. “Kami punya tempat untuk melapor,” kata Livia, pendiri dan Pj Direktur Eksekutif Yayasan Pulih, Selasa (10/8/2024).
Keberadaan TPPK di lingkungan sekolah merupakan penerapan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Permendikbudristek) Tahun 2023 Nomor 46 “Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan”. Menurut Permendikbudristek, bentuk kekerasan di sekolah bisa bermacam-macam, antara lain kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi, intoleransi, politik inklusif, dan bentuk kekerasan lainnya.
Livija mengatakan, persahabatan di lingkungan sekolah memberikan pengaruh positif bagi siswa. Kemampuan memberikan dukungan emosional dan pengambilan keputusan, meningkatkan rasa kebersamaan dan mengurangi kesepian, mengajarkan empati dan keterampilan sosial. Siswa dapat memperoleh pengaruh positif ini dengan menjalin pertemanan di lingkungan yang produktif.
Namun sebaliknya, seorang siswa yang terjebak dalam pertemanan yang beracun atau toxic tidak bisa mengalami trauma tersebut. Livia juga mengingatkan para pelajar akan pentingnya mengenali dan memahami ciri-ciri persahabatan yang beracun, termasuk munculnya perasaan tidak aman dan nyaman yang kuat.
Di sisi lain, Livija menambahkan, penting bagi orang tua untuk membuka ruang berdialog dengan anak dan mengetahui apakah ada perubahan pada anak. Siswa yang terjebak dalam lingkungan pertemanan yang beracun dapat mengalami dampak psikologis mulai dari masalah psikologis seperti stres, kecemasan, depresi, dan lain-lain.
Selain itu, korban mungkin mengalami gangguan tidur, perubahan kebiasaan makan, berkurangnya kemampuan bekerja, sulit mempercayai orang lain, kurang percaya diri, dan dalam kasus terburuk, pikiran untuk menyakiti diri sendiri dan bunuh diri.
“Kami harus memahami diri kami sendiri. Jika persahabatan yang beracun benar-benar tidak membuat kita merasa baik, kita tidak bisa tidur, kita tidak mau sekolah, itu membuat kita depresi. Jangan biarkan sesuatu menyakiti, biarkan berlama-lama. “Kita harus melakukan sesuatu untuk keluar dari ini,” kata Livija.