Psikolog Ungkap Pengaruh Pertunangan Anak terhadap Perkembangan Psikologis

krumlovwedding.com, SURABAIA — Profesor Nurul Hartini, psikolog keluarga dan anak Universitas Airlangga (Unair), menyoroti tradisi Abekalan yakni partisipasi melalui perjodohan yang biasa dilakukan masyarakat Madura. Perjodohan sering terjadi pada anak kecil.

Nurul menjelaskan, ketika individu menginjak usia remaja, mereka mulai memikirkan hubungan intim secara psikologis. Artinya, kematangan psikologis seseorang mulai terbentuk ketika memasuki usia 20-an.

“Dari sudut pandang perkembangan psikologis, ketika orang memasuki masa dewasa awal, mereka mulai berpikir tentang keinginan untuk menjalin hubungan yang berkomitmen. Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa Anda harus berusia 19 tahun untuk menikah. Faktanya, individu hanya memahami pendidikan psikologi pada sekitar usia tersebut. Sudah 20 tahun lebih,” kata Nurul, Sabtu (27 April 2024).

Oleh karena itu, Nurul melanjutkan, tradisi Abekalan dapat berdampak pada kesehatan mental anak. Namun, belum jelas seberapa besar pengaruh tradisi ini terhadap kesehatan mental anak.

Namun Nurul melanjutkan, orang tua dan budaya tidak bisa langsung disalahkan. Menurutnya, komunitas dan tokoh masyarakat mempunyai peran penting dalam dunia pendidikan dan memberikan dampak positif terhadap tradisi tersebut.

“Perjalanan masih panjang dengan pendidikan yang baik dan literasi positif dan pertimbangan akan berubah. Apalagi pendidikan dan literasi yang konstruktif lebih penting dari sekedar kritik,” ujarnya. 

Nurul juga merekomendasikan pendekatan pendidikan melalui lingkungan dan pola asuh yang konstruktif bagi tumbuh kembang anak. Hal ini dikarenakan rangsangan dan perlakuan yang diberikan oleh lingkungan akan mempengaruhi perilaku anak.

“Apa pun pendekatan pengasuhan yang dilakukan, kami berharap dapat memberikan dukungan positif bagi tumbuh kembang anak,” ujarnya.

Nurul menambahkan, seiring berjalannya waktu, tradisi Abekalan justru mulai tergerus. Sebagian masyarakat Madura mulai meninggalkan tradisi keagamaannya sejak usia dini. Menurut Nurul, perubahan tersebut merupakan titik terang dalam meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan anak.

“Orang tua perlu memahami bahwa tugasnya berbeda-beda tergantung usia perkembangan masing-masing anak. Anak di bawah enam tahun perlu lebih bereksplorasi terkait perkembangan sensorik, motorik, dan kesiapan belajar,” ujarnya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *