krumlovwedding.com, Jakarta – PT Kelang Pertamina Internasional (KPI) menegaskan kesiapannya mendukung program pemerintah untuk mengurangi emisi karbon. Seperti diketahui, pemerintah telah menetapkan target emisi nol bersih pada tahun 2060 atau lebih awal.
Seluruh daerah, termasuk Pertamina dan seluruh anak perusahaannya, siap mewujudkan hal tersebut. PT KPI mengembangkan fasilitas produksi bahan bakar ramah lingkungan dari kilang ramah lingkungan. Hal ini tertuang dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) untuk NZE.
Direktur Utama KPI Taufik Aditivarman dalam RJPP menyebutkan pihaknya berencana membangun fasilitas produksi bahan bakar ramah lingkungan atau green kilang. Beberapa proyek kilang ramah lingkungan tengah berjalan, di antaranya pengembangan kilang Silacap tahap dua yang diperkirakan akan dibuka pada tahun 2027 dengan kapasitas produksi enam ribu barel minyak nabati hydrotreated (HVO) per hari (bpd). Tahap pertama sudah selesai dengan kapasitas tiga ribu barel. Secara keseluruhan, Kilang Silacap merupakan salah satu kilang terbesar di Pertamina dengan kapasitas pengolahan 348 ribu barel per hari.
Setelah itu, Kilang Plaju ditargetkan selesai pada tahun 2030 dengan kapasitas pengolahan biofuel sebesar 20 ribu bph. Kilang Dumai tahun 2031 berkapasitas 30 ribu bph. “Kemudian Kilang Balikpapan berkapasitas 30 ribu bph pada tahun 2034,” kata Taufik pada diskusi brunch talk bertajuk “Decarbonizing the Future: The Role of Green Fuel in Reducing Emissions” yang diselenggarakan oleh Pemimpin Redaksi Energy Society (E2S) . The Grand Mansions Menteng, Jakarta, Kamis (10/10/2024).
Ia mengatakan, KPI juga siap menjalankan program pemerintah jika diberi amanah untuk meluncurkan produk solar rendah sulfur. Kilang Balongan saat ini memproduksi bahan bakar dengan kandungan sulfur 10 ppm.
KPI ditetapkan untuk memproduksi solar dengan produk sulfur lebih rendah 10 ppm dari Balongan. Kilang lainnya masih berbeda. Namun pada tahun depan, Kilang Balikpapan akan mulai beroperasi dan mampu memproduksi bahan bakar Euro 5 dengan kandungan sulfur 10 ppm baik untuk bensin maupun solar.
“Ini akan meningkatkan kapasitas untuk memenuhi kebutuhan wilayah Jawa dan Kalimantan,” kata Taufik.
Saat ini KPI mampu memproduksi biofuel melalui beberapa cara. Salah satu caranya adalah dengan melakukan co-processing terhadap bahan baku nabati yang dicampur dengan bahan baku konvensional pada proses yang ada. Proses ini diikuti untuk menghasilkan Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan (SAF). “Kami memodifikasi unit THDT untuk coprocessing SAF di Kilang Silacap berkapasitas 9 ribu bpd.”
Selain memproduksi biofuel, KPI juga mengolah bahan baku nabati (berbasis CPO) dengan komposisi 100 persen menjadi bahan baku seluruhnya (refined bleached deodorized palm oil/RBDPO). Hal ini dilakukan untuk menghasilkan solar ramah lingkungan atau B100. “HVO dari Kilang Silacap merupakan konversi bahan baku RDBPO, khususnya produk solar terbarukan 100 persen atau B100 dengan kapasitas tiga ribu barel per hari,” kata Taufik.
Ari Rachamdi, peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menjelaskan penggunaan biofuel merupakan salah satu cara terbaik untuk mengurangi emisi yang dihasilkan kendaraan. Sejalan dengan meningkatnya tren global terhadap penggunaan biofuel, Indonesia berada pada jalur yang tepat dalam keberhasilan program biodiesel. “Salah satu fokus yang harus diperhatikan adalah penggunaan bensin yang ramah lingkungan, karena konsumsi terbesar ada pada bensin,” kata Ari.
Ali Ahmadu Achayak, direktur eksekutif Pusat Studi Keamanan Energi (CESS), mengatakan tantangan terbesar dalam memajukan program biofuel, selain pasokan bahan mentah, adalah harganya yang masih tinggi. Hal ini dinilai wajar karena energi baru terbarukan (EBT) masih dianggap sebagai energi yang mahal. Hal ini karena tidak banyak menggunakan energi fosil. Untuk itu, penetrasi dan dukungan dari pemerintah sangat diperlukan.
“Harus ada itikad baik dari pemerintah dengan memberikan insentif untuk menjamin ketersediaan bahan baku. Pakan ternaknya harus dilepas tarifnya,” kata Ali.