Rania Al Abdullah, Istri Raja Yordania yang Mencoba Menempatkan Diri sebagai Ibu Sandera Israel

AMMAN – Rania Al Abdullah merupakan istri Raja Abdullah II dari Yordania. Status ini pula yang membuatnya terkenal sebagai Ratu Yordania.

Nama asli istri Raja Yordania adalah Rania Al-Yassin. Lahir di Kuwait pada 31 Agustus 1970, diketahui orang tuanya berasal dari Palestina.

Melalui HelloMagazine pada Kamis (5/9/2024), Rania tumbuh besar di sebuah rumah asri di pinggir pantai bersama saudara-saudaranya.

Ia belajar di New English School di Kuwait City dan American University di Kairo dan memperoleh gelar di bidang bisnis setelah lulus.

Sekitar tahun 1991, Rania pindah ke Amman, tempat orang tuanya tinggal setelah melarikan diri dari Kuwait bersama ratusan ribu warga Palestina lainnya setelah Perang Teluk tahun 1991.

Karena ia bekerja di banyak perusahaan, ia berkesempatan menghadiri jamuan makan malam yang diselenggarakan oleh saudara perempuan Pangeran Abdullah pada Januari 1993.

Menariknya, momen tersebut menjadi awal perubahan hidup Rania. Di sana ia bertemu pangerannya Abdullah II untuk pertama kalinya. Keduanya akhirnya menikah pada 10 Juni 1993.

Rania Al Abdullah memperkenalkan dirinya sebagai ibu dari para sandera Israel

Rania Al Abdullah baru-baru ini diwawancarai oleh CBS. Kali ini, ia banyak memberikan jawaban mengenai apa yang terjadi di Palestina.

Dalam acara ‘Face The Nations’ di CBS, Rania mengatakan bahwa Israel salah dalam perangnya dengan Hamas. Tidak hanya itu, ia juga menganjurkan protes anti-Israel di kampus-kampus di seluruh dunia.

Melihat jawaban yang dipaparkan, pernyataan ratu Yordania ini menarik. Dalam salah satu ceritanya, Rania bercerita tentang empati yang dirasakan para ibu di Israel saat melihat anaknya ditahan Hamas.

“Setiap hari saya menantang diri saya untuk menempatkan diri saya pada posisi seorang ibu Israel, terutama yang memiliki anak sebagai sandera… dan mencoba berempati dan melihat pemikirannya,” kata Rania, dilansir CBSNews, Kamis (5/ 9/2024).

“Para sandera harus pulang secepat mungkin,” tambahnya.

Meski mencoba menempatkan dirinya dalam perspektif seorang ibu Israel yang anaknya disandera oleh Hamas, Rania sendiri tidak menyetujui tindakan pembalasan Israel dan menargetkan warga sipil Palestina.

“Meskipun peristiwa 7 Oktober (Operasi Badai Al-Aqsa) sangat emosional dan menghancurkan, tanggapan Israel terhadap pembantaian brutal di Gaza tidak membantu situasi tersebut,”

“Anda tidak bisa hanya mengandalkan ekspresi balas dendam dan balas dendam yang mengakar, karena Anda hanya akan memasuki siklus kekerasan dan menggali lebih dalam, dan itu hanya akan menjadi lebih buruk,” kata Rania Al Abdullah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *