Jakarta – Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepolisian Negara mendapat kritikan dari Badan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Sesuai Pasal 14 RUU Polri, polisi berwenang melakukan penyadapan terhadap Inspektur Pelayanan Publik (PPNS), penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penyidik Kejaksaan Agung (KJG).
“Jadi kalau kita baca definisi ini, dia (polisi) akan menjadi lembaga yang lebih tinggi. Bahasa hukum agama bisa Majelis Syura, Majelis Agung, penyidik lembaga lain,” kata Presiden LBB Muhammad Issur dalam jumpa pers. . rilis Kantor LBH, Jakarta Pusat, Minggu (2/5/2024).
Jika UU Polri disahkan, penyidik Kejagung dan KPK harus terus bekerja sama dengan kepolisian. Bisa kita bayangkan konsekuensinya jika penyidik KPK berkoordinasi dengan penyidik kepolisian untuk melakukan pengawasan dan penindakan, ujarnya.
“Dalam hal ini bagaimana Jaksa Agung mengusut Jiwasrayan, mengusut Timah (korupsi), nah penyidik Antam yang terakhir, harusnya Jaksa Agung yang ditembak dan dikendalikan penyidik kepolisian,” lanjut Esur.
Terkait UU Polri, ia juga mempertanyakan fungsi Dewan Legislatif Partai Demokrat (Baleg). Sebab, salah satu RUU yang diajukan DPP berdasarkan kesepakatan Balegh adalah UU Polri.
Apa tugas DPR, tugasnya harmonisasi, harmonisasi, cek undang-undang yang lain, kasus ini tidak konsisten, kalau Baleg seperti ini bahayanya sangat besar,” ujarnya.
“Ini persoalan berbahaya yang bisa dilihat pertama kali jika membuat undang-undang dan mulai melawan undang-undang lainnya,” tutupnya.