Sangmong Harimau Bali yang Mempunyai Tempat Khusus di Pulau Dewata

BALI – Senasib dengan Harimau Jawa, Panthera tigris balica atau Harimau Bali pun tak kalah tragis keberadaannya di Indonesia. Namun masyarakat Bali tetap menjunjung tinggi hewan liar ini.

BACA JUGA – Harimau Jawa terlihat di hutan angker ini

Dalam banyak literatur Bali dikenal dengan nama “Sangmong” yang berasal dari kata “Sang Maung” atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan “Dia Harimau” atau “Si Harimau” yang artinya Harimau Bali.

Harimau Bali merupakan subspesies harimau terkecil dari sembilan subspesies harimau, ukurannya sebanding dengan macan tutul atau puma. Laki-laki biasanya memiliki berat 90-100 kg (198).

Betina memiliki berat 65–80 kg (142–175 lb), dengan jantan memiliki panjang sekitar 220 cm (7,2 kaki atau 86,6 inci) (dengan ekor) dan betina 195–200 cm (6,4–6,6 kaki atau 76,8–78,6 inci).

Ukuran tersebut merupakan sebuah anomali, umumnya semakin jauh dari garis khatulistiwa semakin besar ukuran harimaunya. Mungkin perkembangan ini disebabkan oleh kecilnya pulau Bali dan terbatasnya hewan buruan.

Ia memiliki bulu pendek berwarna oranye tua. Belangnya lebih sedikit dibandingkan harimau jawa dan sumatera, namun terkadang terdapat bintik hitam kecil di antara belangnya. Ciri inilah yang menyebabkan harimau Bali terkadang digambarkan memiliki loreng yang lebih tebal.

Seperti halnya sepupunya, Harimau Jawa, punahnya Harimau Bali antara lain disebabkan oleh perburuan besar-besaran pada masa penjajahan. Konon cara berburu harimau Bali yang paling populer adalah dengan menggunakan perangkap besi gigi gergaji yang diberi umpan kambing atau rusa.

Dalam budaya Bali, harimau mempunyai tempat khusus dalam cerita rakyat dan seni tradisional, seperti pada lukisan Kamasan Kerajaan Klungkung. Namun, mereka dianggap sebagai kekuatan destruktif dan upaya pemusnahan mendorong mereka menuju kepunahan.

Dan tidak hanya penduduk lokal saja yang melakukan hal tersebut, dimana Bali bukanlah sebuah pulau yang besar, namun perkembangan kehidupan manusia Bali yang semakin berkembang dan membutuhkan banyak ruang tentunya telah menyebabkan punahnya banyak spesies hewan asli Bali, bahkan musnah seluruhnya. menghilang dari peradaban. .

Namun penjajahan zaman penjajahan Belanda saat itu juga banyak mendorong perubahan penting pada ekologi Bali, dimana jalan untuk kendaraan, bandara dan perkebunan mulai dibangun, dan juga yang paling seram adalah datangnya para penggila berburu binatang eksotik. . adalah bagian wilayah sebagai permainan untuk memenuhi hobi. Tak hanya di Sumatera dan Jawa, tapi juga di Bali.

Tentu saja perburuan massal tersebut dilakukan demi kepentingan masyarakat Bali yang membutuhkan ruang lebih, mendorong kepunahan suku Sang Mong, dan kemudian ditambah dengan kolonialisme Belanda dengan segala dampak negatifnya kecuali perang saudara. Yakni budaya baru berburu dengan senapan yang turut andil dalam rusaknya habitat Sang Mong hingga punah.

Selain dibawa untuk diawetkan dan digunakan dalam atraksi satwa eksotik yang sedang tren di Eropa saat itu dengan pertunjukan sirkus, kulit, kuku, dan tulangnya juga diambil dan diolah menjadi barang.

Sangat sedikit catatan pertemuan yang dapat diandalkan dan bahkan lebih sedikit lagi dokumentasi visual yang tersisa. Salah satu catatan terlengkap ditinggalkan oleh baron Hongaria Ozkar Vojnih, yang menangkap, memburu, dan memotret harimau Bali.

Pada tanggal 3 November 1911, ia membunuh spesimen dewasa di wilayah barat laut, antara Gunung Gondol dan Sungai Banyupoh, dan mendokumentasikannya dalam bukunya Di Kepulauan Hindia Timur. (Wikipedia) (Dari catatan Facebook Adimelali/Dee Gorra tertanggal 13 September 2014)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *