Sekolah Damai Digelar di Banyuwangi, Tegaskan Toleransi Itu Satu Keharusan

Banyuwangi – Kegiatan Sekolah Damai digelar di Pondok Pesantren Darussalam (PONPES) di Brockagung, Banyuwangi, Jawa Timur. Siswa ditekankan pada nilai toleransi, ajaran Islam menghargai perbedaan.

Saling menghormati (tasam) yang dilandasi nilai-nilai inti Islam disebut rahmatan lil alamen. Oleh karena itu para wali dan wali harus mengisi status dakwah dengan nilai-nilai Islam yang penuh toleransi.

“Manusia diciptakan Tuhan dengan sifat cinta kasih, sehingga pada dasarnya semua manusia adalah cinta damai.” Kita perlu memperjelas apa yang kita lakukan melalui diskusi berdasarkan nilai-nilai Islam, kata pengkhotbah Habib Hussein Jafar al-Khadr saat menjadi narasumber. orang di Sekolah Perdamaian. . Senin (2024/5/20) Mengutip kegiatan di Banyuwangi.

Ia berharap semua pihak tidak membiarkan nilai-nilai intoleransi digaungkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

“Santri adalah tulang punggung toleransi di Indonesia. Oleh karena itu, tidak hanya Santri saja, tapi semua orang harus sadar bahwa ada tantangan intoleransi di luar,” kata Habib Jafar.

Habib Jafar berpesan kepada para santri bahwa ketika keluar dari pesantren, mereka mempunyai kewajiban untuk menjaga agama, ilmu agama, amalan dan akhlak keagamaan, dan salah satu landasannya adalah toleransi.

Penjaga harus mendakwahkan Islam kepada orang-orang di sekitarnya dan tidak boleh menyebarkan kebencian atau intoleransi terhadap pemeluk agama lain.

Selain itu, santri juga dapat memimpin kumpul takrum di masjid-masjid agar Islam mendapat lindungan ahlinya. Pasalnya, jika Islam diserahkan kepada orang yang tidak ahli, maka mereka akan mengharumkan nama mereka dengan mendakwahkan Islam di depan mata mereka, karena mereka tidak pernah mempelajari atau peduli terhadap agama tersebut. Karena cinta akan hancur.

Ia mengatakan, hal pertama yang diajarkan kepada siswa adalah pelajaran agama. Yang kedua adalah internalisasi agama melalui apa yang disebut merajuk.

Di pesantren sufi seperti Darussalam, tidak sekadar belajar agama, melainkan menyerapnya melalui sulkh. Ia mengatakan para santri ini akan menjadi generasi yang paham agama, melihat perbedaan dan tidak membenci hawa nafsu.

Oleh karena itu, pelajar harus mempelajari agama dan mengetahui bahwa toleransi itu perlu karena perbedaan itu nyata dan perlu di hadapan Tuhan, sebagaimana tercantum dalam Alquran, tambahnya. Sebab Allah menciptakan dunia dengan perbedaan yang berbeda antara manusia dan segala isinya.

Intinya toleransi adalah ajaran Islam tentang perbedaan. Sektarianisme adalah musuh Islam yang harus dilawan. Jadi musuh kita bukan beda peradaban, tapi kesiapan menerima perbedaan. dia berkata.

Selain itu, Habib Jaffer berbicara tentang intoleransi, kekerasan, dan intimidasi. Menurutnya, orang yang intoleran menimbulkan kekacauan, bukan berarti perdamaian.

“Menurut Nabi Muhammad, ciri khas umat Islam adalah dapat memberikan rasa damai kepada setiap orang, tidak hanya sekedar shalat haji, puasa, dan zakat. Oleh karena itu, orang yang intoleran adalah “Rasa damai dan toleransi terhadap orang sekitar, ” jelasnya.

Ia mengatakan ada empat tingkat toleransi. Pertama, dalam agama Ikhwanul Muslimin yaitu Ukwa-Islam, bila berbeda agama disebut Ukwa-Watnia atau toleransi antar umat. Meski berbeda ras dan agama, namun masyarakat Indonesia tetap bersaudara jika menjadi warga negara yang sama.

“Jika dia bukan orang Indonesia atau beragama Islam, maka toleransi kita adalah ukwa insaniyah, persaudaraan antar sesama manusia. “Sebaliknya, jika dia bukan manusia, maka toleransi kita adalah ukwa mahmudya dalam toleransi antar makhluk Tuhan.” Ini adalah persaudaraan,” katanya.

Habib Jafar juga menjelaskan empat unsur Islam toleran. Pertama-tama, Islam bukanlah Takfir. Mengubah orang lain menjadi Kafirisme tidaklah mudah. Kedua, ia tidak menggunakan kekerasan sebagai alat penyelesaian masalah. Jika ada masalah, ia mencari solusi damai, bukan kekerasan. Ketiga, ini tidak anti-nasional. Keempat, hal ini tidak bertentangan dengan budaya.

“Jadi ingat, non-Muslim tidak menilai Islam dari Al-Qur’an, tzadis, dan lain-lain, tapi umat Islam dipandang sebagai agen atau penjual Islam dari tindakan kita.” Kita harus selalu menjunjung tinggi nama Islam, maka berbuat baik dan berdoa dimanapun kita berada harus menjadi contohnya,” tutupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *