Tapera Diminta Ditinjau Kembali, Begini Saran Para Pengamat

JAKARTA – Pengamat kebijakan publik dan publik di berbagai daerah angkat suara terhadap Kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera yang baru saja diluncurkan pemerintah melalui PP Nomor 21 Tahun 2024 untuk mengubah PP Nomor 25 Tahun 2020 terkait penerapan PP No. Tapera. . Berbagai elemen ini meyakini bahwa kebijakan ini membebani masyarakat di berbagai tingkatan.

Yang menjadi perhatian utama adalah tingkat gratifikasi Tapera yang mencapai 2,5% dari gaji pemilik rumah. Imam Rozikin, pemantau kebijakan publik di Yayasan Nusantara, mengatakan kebijakan tersebut akan membuat para pekerja memiliki pendapatan terendah dan khawatir bahwa pemotongan tersebut akan semakin menekan ruang finansial mereka.

“Kami membayangkan sebelum ada Tapera, iuran BPJS sama dengan upah pekerja pada UMR (Upah Minimum Regional), belum lagi pajak pertambahan nilai ketika masyarakat berbelanja. “Kebijakan Tapera ini perlu diubah, apalagi jika kebijakan tersebut sudah tepat dan sesuai dengan kebutuhan,” kata Imam.

Selain itu, skema wajib Tapera juga mendapat kritik. Imam Rozikin berpendapat bahwa partisipasi dalam program ini harus bersifat sukarela, dengan mempertimbangkan kondisi keuangan masyarakat yang berbeda-beda.

“Pemerintah perlu berpikir jernih tentang proses partisipatif sebelum mengambil kebijakan. Pertama-tama, perlu dilakukan pemetaan kebutuhan riil penduduk. Apakah warga setuju bahwa pemerintah harus mengatur pilihan perumahan? “Baru setelah itu barulah lahir kebijakan yang berdasarkan Pancasila atau gotong royong.”

Kekhawatiran lainnya adalah pengelolaan dana Tapera. Kurangnya pemahaman mengenai mekanisme investasi dan imbal hasil yang diterima peserta. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa aset Tapera mungkin disalahgunakan atau salah kelola.

“Kekhawatiran masyarakat terhadap pengelolaan dana memang beralasan. Sebab jika ditilik dari kasus korupsi 20 tahun terakhir, banyak kasus korupsi yang melibatkan skema serupa. Belum lagi para pekerja mungkin tidak sefleksibel selama beberapa waktu terakhir. Menurut saya ini berbahaya dan sangat menyimpang dari falsafah Pancasila. “Kita tidak akan hidup sebagai sebuah negara untuk satu atau dua tahun, tapi selamanya,” jelas sang imam.

Imam Rozikin menyarankan pemerintah mengkaji ulang kebijakan Tapera dan mempertimbangkan pendapat berbagai pihak. Termasuk mempertimbangkan aspek partisipatif.

“Berdasarkan penelitian saya, bentuk politik yang tepat dibarengi dengan narasi yang digagas masyarakat melalui partisipasi bottom-up. Bagaimana pemerintah bisa melakukan perbincangan positif ketika masyarakat belum dilibatkan dalam berbagai proses kebijakan publik? Saya tidak setuju kalau ada yang bilang kurang sosialisasi,” jelasnya.

Imam mengatakan, kebijakan ini merupakan indikasi bahwa proses analisis kebijakan publik belum dilakukan secara memadai di tingkat kementerian.

“Saya prihatin dengan posisi pemerintahan Pancasila, dimana letaknya? Apakah pajak ini bisa disebut sebagai kebijakan Pancasila?” waktu yang sama. Dalam pemilihan kepala daerah, saya sangat khawatir dengan kestabilan situasi sebelumnya dan terganggunya suasana kondusif di masyarakat. – dia menyimpulkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *