Tuntut UKT Turun, JPPI: Pendidikan Tinggi Bukan Kebutuhan Tersier

JAKARTA – Kebingungan soal tingginya Uang Kuliah Tunggal (UKT) semakin berkembang. Perdebatan semakin memuncak ketika pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier.

Ubaid Matraj, koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), mengatakan bahwa salah besar jika menganggap pendidikan tinggi sebagai kebutuhan yang tersebar luas.

JPPI mengatakan di media, Rabu (16 Mei 2024), pendidikan tinggi adalah pendidikan menanggapi pernyataan Chichi Sri Tjajaandarye, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Direktorat Riset dan Teknologi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kebutuhan tersier.

Baca juga: Komisi Pendanaan Pendidikan Langsung Akibat Kenaikan UKT

Jika pendidikan tinggi adalah pendidikan tinggi, meski negara tidak ikut mendanai, bagaimana nasib pendidikan dasar dan menengah (termasuk dalam program wajib belajar 12 tahun) atau dibiayai oleh pemerintah?

“Kami melihat pinjaman tersebut tidak seluruhnya dibiayai, melainkan hanya pada Bantuan Skema (BOS). Alhasil, kami melihat jumlah anak putus sekolah semakin meningkat,” tuturnya. melalui siaran pers pada Jumat (17 Mei 2024).

Berdasarkan data BPS tahun 2023, ATS masih terdapat pada semua jenjang: SD (0,67%), SMP (6,93%), dan SMA/SMK (21,61%). Menurut perkiraan JPPI, populasi ATS diperkirakan mencapai lebih dari 3 juta orang. Ini merupakan jumlah yang sangat besar.

Baca juga: PDIP serukan revisi Permendikbudrist nomor 2 tahun 2024 setelah UKT melonjak drastis

Tentu saja, faktor utama yang mempengaruhi ATS adalah finansial: kemampuan membayar uang sekolah. Artinya, sekolah-sekolah di Indonesia saat ini masih memungut biaya, dan pendidikan gratis hanyalah istilah mewah untuk pendidikan gratis yang diamanatkan oleh UUD 1945 (Pasal 31) dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 34).

Bagaimana dengan PT? Tentu saja, ini lebih tragis lagi. Berdasarkan data BPS Maret 2023, hanya 10,15% penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang menyelesaikan pendidikan setingkat universitas.

“Tentu aksesnya masih sangat rendah, karena mahalnya biaya. Apalagi pemerintah menganggap PT sebagai kebutuhan tersier,” ujarnya.

Oleh karena itu JPPI menyerukan kepada pemerintah untuk mengembalikan pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, sebagai barang publik dan menolak segala bentuk komersialisasi pendidikan tinggi, khususnya PTNBH.

Dia menjelaskan mengapa hal itu harus menjadi barang publik dan bukan kebutuhan ketiga. Sebab, jelas bahwa pendidikan menyentuh kehidupan seluruh warga negara dan merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi.

Siapa misi yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan tersebut dalam Pasal 4 UUD 1945, salah satu tujuan utama berdirinya Negara Republik Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan rakyatnya, ujarnya.

Sebagai pengemban peran ini, pemerintah harus bertanggung jawab kepada masyarakat mengenai permasalahan ini. Untuk menjadi bangsa yang cerdas dan berdaya saing, pendidikan antara SMA/SMK saja tidak cukup, tentunya anak-anak Indonesia memerlukan akses terhadap layanan pendidikan hingga perguruan tinggi. Oleh karena itu, peran dan kerja sama pemerintah sangat penting.

Oleh karena itu, negara harus mendampingi semua orang dalam memenuhi kewajiban konstitusionalnya dan bertanggung jawab penuh dalam menyelenggarakan layanan pendidikan tinggi, ujarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *