Wajah Ganda Agama: Antara Anugerah dan Bencana

Eko Cahyo

Peneliti/Aktivis Sajogyo Institute

Calon Sosiologi Pedesaan IPB

Pemberian konsesi pertambangan oleh pemerintah kepada organisasi keagamaan mendapat kritik yang beragam. Sebab, ada kekhawatiran jika kebijakan ini terus berlanjut akan memperburuk krisis sosio-ekologis dan pertanian akibat rezim pertambangan. Saat ini, sulit untuk menemukan praktik pertambangan di tanah air yang menghormati kemanusiaan, keadilan dan kelestarian ekologi, sebaliknya marginalisasi, eksklusi, praktik kotor, polusi (air dan udara), perampasan lahan, perselisihan pertanian, pengrusakan nampaknya mendominasi. lingkup kehidupan manusia (TII 2024, Jatam 2024).

PP Nomor terkait Penyelenggaraan Usaha Pertambangan Batubara. 96/2021 sebagaimana telah diubah dengan Perpres 25 Tahun 2024, yang berarti organisasi keagamaan masyarakat merupakan kawasan prioritas bagi kegiatan usaha yang sah. Pasalnya, pasal tersebut memberikan keistimewaan akses terhadap wilayah izin usaha pertambangan (WIUPK) kepada badan usaha yang tergabung dalam organisasi keagamaan masyarakat tersebut mungkin.

Adalah pertambangan batubara yang sudah dikerjakan atau sudah berproduksi berdasarkan ayat (2) Pasal 83A, yang dapat dioperasikan oleh badan usaha organisasi keagamaan umum. Mulai tahun 2022, pemerintah mengkaji izin pertambangan yang diterbitkan kepada swasta dan menemukan sekitar 2.078 izin usaha pertambangan (IUP) yang tidak melaksanakan rencana kerja dengan baik. Izin kerja ini dapat diperoleh oleh organisasi keagamaan.

Terlepas dari perdebatan mengenai apakah organisasi keagamaan dapat mengelola industri pertambangan dengan baik, penting untuk mempertimbangkan secara serius mengapa praktik keagamaan bisa bermuka dua. Di satu sisi, terdapat bukti kuat bahwa organisasi keagamaan dan semua agama adalah pembela utama konservasi alam, keadilan, dan perlindungan manusia. Namun di sisi lain, mengapa ada penganjur dan bahkan pembuat kebijakan pembangunan yang merusak alam dan mengabaikan keadilan dan kemanusiaan atas nama agama?

Hasil kajian unik yang dilakukan ICRS-UGM dan Sajogyo Institute (2020) bertajuk “Agama dan Perkembangan Bi-Religion dalam 10 Studi Kasus di Indonesia” jelas menunjukkan perbuatan baik dan buruk atas nama agama. Misalnya, penggalian yang ditolak oleh Gereja Katolik di Manggarai (2009). Para pemimpin Gereja Katolik mengorganisir komunitas untuk menuntut perusahaan menghentikan operasi penambangannya. (2014) setelah pernyataan Uskup Lenteng bahwa Dianusa Ruteng adalah gereja yang anti pertambangan.

Pada tahun 2018, Ikatan Masyarakat Lokal Manggarai Anti Tambang (Imamat) dibentuk sebagai kelompok advokasi pertambangan. Kasus lainnya adalah penolakan Pendanda India Bali terhadap restorasi Teluk Banoa (2016) dengan ForBali. Dengan keputusan Pandhita Sabha, Pedanda menyatakan bahwa di area pemulihan terdapat tempat suci yang masih digunakan umat Hindu untuk melakukan ritual keagamaan di sekitar Bai Banoa.

Contoh lainnya adalah protes besar-besaran yang dilakukan warga Nahdatul Ulama di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, terhadap PT Semen Indonesia yang didukung oleh Front Nahdatul Ulama Pengelolaan Sumber Daya Alam (FNKSDA) (2015). Karena selain menimbulkan konflik terhadap pertanian, juga mengancam ekosistem karst Gunung Kendeng dan kehidupan masyarakat di sekitarnya, sehingga kerugian (dampak buruk, bahaya, kerusakan atau bencana) dipandang lebih dari manfaatnya. atau kebaikan).

Namun yang menarik, dalam ketiga kasus tersebut, terdapat kelompok pura/pendeta, Pendanda, dan Ulama/Kyai di wilayah yang sama yang menggunakan dalil dan dalil keagamaan untuk mendukung proyek tersebut secara langsung maupun tidak langsung. .

Kisah-kisah ketiga kasus di atas hanyalah “puncak gunung es” dari kasus-kasus yang belum terungkap/belum terselesaikan dan kasus serupa lainnya yang lebih luas dan beragam di Indonesia. Tentu saja pandangan keagamaan mereka juga dinamis, berubah-ubah, dulu dan sekarang, menolak masa lalu, dan terkadang berubah untuk mendukungnya. Namun terlihat bahwa perwujudan wajah ganda agama bukanlah ekspresi keagamaan, melainkan hanya agama.

Hampir semua agama mempunyai potensi yang sama, satu sisi bisa menjadi berkah dan sisi lain bisa menjadi bencana bagi kehidupan manusia dan alam. Setidaknya ada dua hal yang membuat agama menjadi bencana: kemerosotan nilai dan penafsiran mendasar atas kebenaran agama, serta politisasi dan instrumentalisasi agama.

Merenungkan dan meninjau kembali gagasan Charles Kimball (2013), apakah gagasan tersebut menunjukkan kapan agama bisa menjadi bencana? Dalam kasus aksi terorisme dan radikalisme, mereka menafsirkan teks-teks kitab suci secara sepihak sesuai dengan ideologi mereka sendiri dan dengan cara ini membawa ke dunia “kebenaran suci” yang tidak dapat disangkal. Pada titik ini agama menjadi buruk.

Rusaknya agama setidaknya dapat dikenali dari beberapa tandanya, yaitu: Pertama, ketika suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran satu-satunya dan mutlak. Kedua, adanya ketaatan buta terhadap pemimpin agama. Ketiga, agama mencita-citakan zaman yang ideal dan kemudian berusaha membawa zaman tersebut hingga saat ini. Keempat, agama melegitimasi dan membiarkan tujuan menghalalkan segala cara. Kelima, perang suci dilakukan untuk mencapai tujuan.

Oleh karena itu, hal pertama yang dapat menjadi musibah bagi agama adalah ketika nilai-nilai agama dihancurkan, tujuan-tujuan yang bertentangan dengan tatanan penghormatan dengan menghancurkan kebenaran hasil penafsiran kitab suci. agama dan ciptaan alam bagi manusia. Dalam tiga kasus sejarah di atas, semangat perjuangan atas nama agama baik Kristen, Hindu, dan Islam, baik mendukung atau menolaknya, diawali dengan perpaduan argumentasi penjelas tentang doktrin dan nilai. menjalankan agama dari kitab suci.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sumber permasalahan agama dapat berupa tragedi atau anugerah, yang dapat ditentukan dari poin di atas, yaitu “pola dan metode penerjemahan teks ajaran agama ke dalam kitab suci”. pada akhirnya menjadi dasar keyakinan terhadap ‘kebenaran mutlak’.

Sebaliknya, agama akan menjadi anugerah jika terhindar dari upaya penghancuran agama melalui salah tafsir dan monopoli kebenaran konsep secara absolut dan membabi buta. Oleh karena itu, diperlukan penafsiran agama yang lebih komprehensif, humanis, dan ekologis, sesuai dengan pemenuhan nilai-nilai dasar universal semua agama sebagai anugerah alam semesta.

Absolutisme dan fanatisme serta kebenaran tunggal ‘penafsiran agama’ harus dihindari. Sebab, sebagai orang yang beragama, ia terikat pada batas-batas keimanannya demi mencapai kebenaran ketuhanan yang mutlak (tak terbatas). Dengan kata lain, para “penafsir” agama “tidak dapat membedakan” dari orang lain bahwa ada kebenaran mutlak tentang Tuhan.

Dalam sejarah, agama hidup dan dijalani oleh para pemeluknya yang secara konsisten membangun kebudayaan dalam segala aspek kehidupannya, baik sosial, ekonomi, ekologi, maupun politik, sesuai dengan tantangan zaman ruang pada zamannya. Dengan demikian, terciptalah dialog, ‘pembinaan’ dan interaksi antara nilai-nilai sakral dan universal (kemanusiaan, persaudaraan, kasih sayang, pelestarian alam, dan sebagainya). ], maksimalisasi keuntungan [kapitalisme], dll.).

Yang mengkhawatirkan, hal ini sering terjadi ketika ada hubungan antara umat beragama yang ingin mengumpulkan keuntungan – otoritas politik yang menggunakan legitimasi agama. Maka hal kedua yang bisa menjadikan agama menjadi bencana adalah politisasi dan instrumentalisasi agama. karena praktik ini berdampak sangat merusak nilai-nilai universal agama.

Pertama, agama mempromosikan perdamaian, kasih sayang, kemanusiaan, pelestarian alam, dll. ia akan kehilangan identitas sakral dan universal sebagai sumbernya. Sebab dalam praktik persaingan politik pada umumnya segala cara digunakan untuk mencapai tujuan memperoleh kekuasaan. Tidak ada teman atau musuh yang abadi, yang ada hanya kepentingan kekuasaan. Dengan menggunakan agama sebagai alat politik, kesatuan dukungan terhadap organisasi politik dibangun dan diperluas, seringkali dengan meradikalisasi dan mencuri kedalaman makna dan pemahaman agama dengan perasaan fanatisme.

Kedua, agama akan semakin beringas dan meninggalkan semangat perdamaian. Sebab agama hanya dijadikan alat politik dan perdagangan kekuasaan pribadi dan kelompok. Oleh karena itu, ekspresi keagamaan yang dihasilkan adalah kebijakan pemisahan yang tegas antara teman dan musuh. Kata-kata keagamaan yang sering dijadikan alasan: kafir, murtad, munafik, sesat, dll. Sebuah kata yang sebenarnya banyak tafsirnya dimonopoli untuk menerima definisi kebenaran hanya menurut perkataannya.

Ketiga, akan kehilangan identitasnya sebagai struktur yang dapat membangun persaudaraan antaragama. Karena agama menjadi instrumen kekuasaan politik, maka menjadi alat yang efektif untuk memisahkan “kita” dan “mereka”, kawan dan lawan, berdasarkan tujuan politik pragmatis masing-masing pihak.

Berdasarkan argumentasi di atas, agama hanya bisa menjadi anugerah jika terhindar dari upaya manipulasi dan instrumentalisasi politik demi kekuasaan dan kepentingan pragmatis sekelompok orang/lembaga. Sebab jika sebuah organisasi keagamaan mempunyai tujuan kekuasaan yang pragmatis, maka dengan mudah dan berani akan membuat pernyataan politik yang mengatasnamakan “kebenaran” agamanya untuk mendukung politik kekuasaan tersebut.

Kini terjadi legalisasi kebijakan pemerintah atas nama agama. Apabila kebijakan ini mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan sosial berupa pemberian izin pertambangan yang pada praktiknya lebih banyak menimbulkan kerusakan lingkungan maka dilakukan penyitaan; merampas dan menghilangkan hak asasi manusia dari lingkup kehidupan atas nama kesucian (agama).

Tampaknya tujuan kegiatan dan organisasi keagamaan bukan hanya untuk memperkuat keimanan umat terhadap Tuhannya atau untuk memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi umatnya. Namun kita harus mempunyai keberanian politik untuk menolak praktik politisasi dan instrumentalisasi agama untuk tujuan pragmatis, apalagi agama menjadi kedok kapitalisasi sumber daya alam yang terbukti menjadi kenyataan yang semakin buruk dan membawa malapetaka. manusia dan ruang hidup.

Karena hal ini akan mengingkari hakikat agama yang sejak awal berdirinya telah menjadi sumber energi bagi kebebasan masyarakat marginal, menentang eksploitasi dan akumulasi, serta bersifat sosialis yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kemanusiaan (Syed H Alatas, Islam dan Sosialisme, 2022). Oleh karena itu, memahami agama bermuka dua harus menjadi refleksi penting, agama bisa menjadi berkah atau kutukan, itu sangat tergantung pada agamanya, bagaimana pengamalannya oleh pemeluknya, bagaimana pemahamannya dan mengapa digunakan. dibawa dan banyak lagi. Lebih penting lagi, untuk melindungi siapa?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *