Warga Nahdlatul Ulama Alumni UGM Desak PBNU Batalkan Pengajuan Izin Usaha Pertambangan

YOGYAKARTA – Sejumlah warga Nahdlatul Ulama (NU), alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, menolak menerbitkan izin pengelolaan pertambangan kepada organisasi masyarakat (ormas).

Mereka juga meminta PBNU membatalkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diserahkan kepada pemerintah sebelumnya.

Warga NU alumni UGM menilai batu bara merupakan sumber energi kotor yang berkontribusi signifikan terhadap pemanasan global dan perubahan iklim hingga berujung pada bencana besar di Indonesia.

“Penambangan batu bara di Indonesia yang pada dasarnya hanya menyumbang sekitar 3 persen cadangan dunia adalah sebuah kejahatan. Penambangan ini semakin menurunkan kualitas sosial dan lingkungan melalui perampasan tanah, pengambilalihan, penggundulan hutan, pencemaran, dan lubang-lubang yang ditinggalkan setelah penambangan,” aktivis NU kata Heru Prasetya dalam keterangannya yang dikutip, Senin (10 Juni 2024).

Tak hanya itu, Heru juga menilai bisnis pertambangan seperti Baturaya di Indonesia sarat dengan korupsi. Para pemimpin pertambangan mendapat manfaat besar dari pemerintah, terutama dalam hal kebijakan atau keputusan terkait pemberian izin dan konsesi pertambangan.

Di sisi lain, pada Konferensi NU ke-33 di Jombang tahun 2015, NU mengeluarkan beberapa keputusan terkait pertambangan dan energi. Keputusan tersebut menyerukan moratorium seluruh izin pertambangan.

Kemudian Bahtsul Masail LAKPESDAM-PBNU dan LBM-PBNU pada tahun 2017 mendorong pemerintah untuk mengedepankan energi terbarukan yang ramah lingkungan dan mengurangi penggunaan energi fosil untuk mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut.

Kemudian, pada Muktamar NU ke-34 di Lampung tahun 2021, ia juga menyarankan agar pemerintah menghentikan pembangunan PLTU baru berbahan bakar batubara mulai tahun 2022 dan menghentikan produksi mulai tahun 2022, serta pensiun dini/phase out PLTU- dan untuk . batubara pada tahun 2040 untuk mempercepat transisi menuju energi yang adil, demokratis, bersih dan bebas.

“Keputusan, imbauan, dan rekomendasi NU hendaknya menjadi pedoman bagi pengurus PBNU saat ini dan ke depan dalam menjalankan organisasi,” jelasnya.

Menurutnya, PBNU harus memahami bahwa selama ini petani, buruh, dan nelayan yang sebagian besar anggota NU terkena dampak kerusakan akibat pertambangan, seharusnya kelompok pengurus NU itu yang menggantikannya.

Heru menyinggung Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2024 tentang Perubahan PP No. 96 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara. Ada dua pasal dalam PP tersebut yang dinilainya bermasalah.

Pertama, Pasal 83A menerapkan tawaran Wilayah Izin Pertambangan Khusus (WIUPK) terhadap Perjanjian Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) sebelumnya dengan dasar prioritas bagi badan usaha milik organisasi kemasyarakatan keagamaan (Ormas).

Kemudian, Pasal 83A PP No. 25 Tahun 2024 bertentangan dengan Pasal 75 ayat (2) dan (3) UU Minerba yang memprioritaskan pemberian IUPK kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Kedua, Pasal 195B ayat (2) Pemerintah dapat memberikan perpanjangan Izin Pertambangan Khusus (SMP) operasi produksi sebagai kelanjutan kontrak/perjanjian sepanjang tersedia cadangan dan dilakukan penilaian setiap 10 tahun.

“Dalih yang bagus untuk mengingkari kebutuhan finansial untuk mendapatkan konsesi pertambangan untuk mendukung organisasi karena itu benar-benar menunjukkan ketidakmampuan pengurus dalam mengelola kapasitas NU,” tegasnya.

Melihat permasalahan tersebut, Hera bersama sekitar 67 warga NU yang terdiri dari aktivis, akademisi, peneliti, budayawan, dan pengusaha menyerukan penolakan izin pertambangan kepada ormas, sebagaimana tertuang dalam delapan poin penting.

Pertama, menolak kebijakan pemerintah yang memberikan izin kepada organisasi keagamaan untuk mengelola pertambangan, seperti pertambangan batu bara, karena akan merugikan organisasi keagamaan yang seharusnya menjaga harkat dan martabatnya sebagai lembaga moral, dua permohonan agar pemerintah mengabulkan pencabutan izin pertambangan bagi organisasi keagamaan karena potensinya hanya menguntungkan segelintir ormas elit.

Selain itu, hal ini juga akan mengakhiri tradisi kritis organisasi massa dan pada akhirnya melemahkan organisasi keagamaan sebagai bagian dari kekuatan masyarakat sipil untuk mengontrol dan memantau pemerintah, sehingga kerugiannya sangat besar bagi Nahdliyin (rakyat).

Ketiga, mengimbau PBNU menolak kebijakan pengelolaan tambang bagi organisasi keagamaan dan membatalkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah diajukan karena akan membuat NU terkena dosa sosial dan lingkungan.

Keempat, mendorong PBNU untuk kembali melayani masyarakat dengan tidak menerima izin pertambangan, sehingga mengkooptasi NU sebagai bagian dari alat pemerintah untuk mengontrol masyarakat, serta terus mendorong penggunaan energi secara pembaharuan.

Kelima, meminta PBNU menata organisasinya dengan lebih baik dan profesional dengan memanfaatkan potensi kemandirian ekonomi yang ada tanpa melakukan operasi penambangan kotor yang akan menjadi warisan kesalahan sejarah.

Keenam, mendesak pemerintah untuk mematuhi rencana transisi energi Net Zero Energy 2060, yang mencakup meninggalkan batu bara sebagai komoditas ekspor dan sumber energi utama, serta menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan energi terbarukan melalui regulasi.

Ketujuh, menyerukan kepada pemerintah untuk memantau kebijakan, memantau dan menegakkan hukum lingkungan hidup yang berkaitan dengan perusakan tatanan sosial dan ekologi, seperti perampasan tanah, pengambilalihan, penggundulan hutan, eksploitasi, korupsi dan pencemaran, karena pertambangan batubara. kegiatan.

Poin terakhir, warga NU, alumni UGM, meminta seluruh elemen masyarakat melakukan konsolidasi dan terus berupaya menghilangkan regulasi yang cenderung menimbulkan kebangkrutan sosial dan lingkungan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *