Diskusi BEM UNJ: Kemajuan Teknologi Digital RRC Hadirkan Peluang Sekaligus Ancaman

JAKARTA – Negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, harus menyikapi kemajuan teknologi informasi di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) secara bijak. Meskipun dapat memberikan peluang untuk memperluas kemampuan digital, Tiongkok juga diketahui menimbulkan ancaman siber terhadap negara lain, termasuk negara tetangga Tiongkok di kawasan Asia Tenggara.

Hasil di atas terangkum dalam diskusi bertajuk “China dan Keamanan Siber di Asia Tenggara: Peluang dan Tantangan bagi Indonesia” yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (BEM FIS UNJ) dengan Sinologi Indonesia. Total (FSI), di Jakarta, Senin (22/4/2024)

Diskusi dipimpin oleh Direktur BEM FIS UNJ, Ibra Fabian Dwinata, Ali Abdullah Wibisono, Ph.D, dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI) dan Direktur FSI yang merupakan dosen Magister Sains. Program Studi Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH), Dr. Johannes Herlijanto.

Dalam paparannya, Ali Abdullah Wibisono menjelaskan bagaimana Tiongkok saat ini mengandalkan kekuatan digitalnya. “China memimpin operasi siber untuk meretas negara-negara Barat,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (23/4/2024).

Namun Wibisono juga menjelaskan mengapa Tiongkok merasa perlu memimpin perang siber tersebut. “Tiongkok meningkatkan kekuatan komputernya sebagai respons terhadap penetrasi sistem Tiongkok oleh negara-negara Barat.” Informasi yang dirilis oleh Edward Snowden pada tahun 2013 menciptakan ancaman pada pemerintah Tiongkok mengenai ancaman dari Amerika Serikat, “katanya.

Sementara sebagian besar negara-negara barat Tiongkok, Wibisono mencatat bahwa negara tersebut telah melakukan penetrasi siber terhadap negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di masa lalu, bahkan ketika para pejabat negara-negara tersebut mengadakan pertemuan mengenai Tiongkok Selatan. Laut (LCS).

Meski demikian, Tiongkok diharapkan menghormati aturan main yang diterapkan otoritas negara tetangga, termasuk Indonesia. “China boleh saja mencoba menyerang Indonesia, tapi jika pejabat kami menunjukkan perlawanan, China mungkin akan menghormati dan berhenti melakukan hal tersebut,” ujarnya.

Oleh karena itu, ia meminta otoritas terkait bersikap tegas terhadap segala ancaman siber, baik dari Tiongkok maupun negara lain.

“Indonesia tidak bisa mengandalkan norma internet internasional yang tidak melarang serangan dari suatu negara terhadap negara lain. Setiap negara bertanggung jawab untuk mencegah dan memulihkan serangan siber,” kata Ali.

Senada dengan Ali, dosen Program Magister Ilmu Komunikasi UPH, Johanes Herlijanto juga berpendapat bahwa Indonesia harus terus fokus pada aktivitas teknologi digital di RRT.

Bagi Johanes, perkembangan teknologi ini erat kaitannya dengan komitmen Tiongkok dalam mengembangkan apa yang disebut Presiden Xi Jinping sebagai “Kekuatan Produktif Baru yang Berkualitas”.

Merujuk pada penuturan seorang mahasiswa di Tiongkok, Johanes menjelaskan bahwa “Kekuatan Produktif Baru yang Berkualitas” adalah industri maju yang didorong oleh teknologi revolusioner, diversifikasi sumber produksi, dan peningkatan dalam bisnis dan perubahan.

Ungkapan ini menjadi dasar apa yang disampaikan Perdana Menteri Li Qiang pada Maret 2024, bahwa Tiongkok akan berupaya meningkatkan kebebasan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), ujarnya.

Johanes menilai hal di atas akan mendorong Tiongkok untuk semakin meningkatkan kemampuan teknologinya, termasuk teknologi informasi. Di sisi lain, Tiongkok juga ingin berpartisipasi dalam pengembangan sistem digital di negara lain, termasuk Indonesia, melalui platform yang disebut “digital silk road”. Menurutnya, hal tersebut merupakan peluang, namun juga ancaman bagi Indonesia.

“Platform media sosial dari Tiongkok menjadi sasaran pengumpulan data, di negara-negara Barat dan Indonesia. “Selain itu, peretas asal Tiongkok juga diyakini melakukan serangan siber tidak hanya di negara-negara Barat, tapi juga di Asia Tenggara,” ujarnya.

Oleh karena itu, penting bagi otoritas terkait di Indonesia untuk berhati-hati dan berhati-hati, jika ingin bekerja sama dengan China untuk mengembangkan sistem komputer.

Selain persoalan pelatihan, pembahasan di atas juga membahas kekhawatiran yang ada di kalangan saat ini mengenai kesediaan Tiongkok untuk menggunakan dunia maya untuk tujuan propaganda guna meningkatkan pengaruh Tiongkok terhadap negara tujuan.

Pemanfaatan tersebut antara lain terlihat dari hadirnya berbagai video yang mengagung-agungkan Tiongkok, tanpa ada niat serius, yang dipublikasikan di berbagai media sosial.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *