Kisah Jenderal Soemitro, Tentara Kesayangan Soeharto dari Ramalan Boneka Jailangkung

Jenderal Soimitro adalah seorang tokoh militer yang sangat berpengaruh dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Dalam sejarahnya, jenderal asal Probolinggo ini merupakan komandan kedua ABRI dan Pangkopkamtib.

Salah satu jenderal kesayangan Presiden Soeharto ini memiliki cerita unik di masa kecilnya, ia sering bermain boneka Gelangkong bersama teman-temannya. Gestur dari permainan tersebut terbukti berhasil menjadikannya seorang jenderal di Tentara Nasional Indonesia.

Kisah ini diceritakan dalam buku berjudul “Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman ke Pangkopkamtib” karya Ramadan K. Kisah hidupnya dimulai saat ia berusia 15 tahun.

Saat itu, Soemitro mempunyai cita-cita menjadi seorang insinyur. Namun mimpinya tiba-tiba berubah setelah ia bermain Gelangkong bersama temannya Gatot Subangkat.

Seperti halnya mainan Jailangkung yang terkenal, Soemitro pun meminta sesuatu kepada boneka Jailangkung tersebut. Dalam hal ini, pertanyaan pertama adalah bagaimana keadaannya di masa depan.

Jailangkung menjawab singkat sambil menunjuk masing-masing huruf M, A, J, O, R. Hal ini membuat Sumitru kecil terkejut. Namun pada akhirnya Soemitro menjadi prajurit sejati hingga akhir hayatnya.

Namanya penyelamat, saya memang prajurit, kata Jenderal Soemitro dalam buku Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman ke Pangkopkamtib karya Ramadhan K.H seperti dilansir SINDOnews.

Setelahnya, Suimitro bergabung dengan Organisasi Pembela Tanah Air (PETA) bentukan Jepang. Semasa hidupnya, Soimitro sukses berkarir di militer Indonesia. Tercatat ia berhasil meraih pangkat bintang 4 (Jenderal TNI).

Soimitra lahir di Probolinggo, Jawa Timur pada 13 Januari 1927. Semasa kecilnya, ia bersekolah di Holland Inland School (HIS). Setelah itu melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan lulus dengan sukses pada tahun 1944.

Setelah itu, Soemitro bergabung sebagai prajurit relawan Pembela Tanah Air atau dikenal dengan PETA. Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, ia juga menjadi anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian menjadi pendahulu TNI Angkatan Darat.

Selepas sekolah menengah, Soemitro mendaftar menjadi relawan Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Saat itu, satuan militer bentukan Jepang membuka lowongan pembantu.

Soemitro diterima dan dikirim ke Bogor, Jawa Barat untuk mengikuti pendidikan. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, seperti kebanyakan prajurit PETA, Soimitro bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR), pendahulu Tentara Nasional Indonesia.

Pada agresi Belanda kedua, Soemitro menjabat sebagai orang kedua di Sub-Wehkreise di Malang. Ia berhasil melakukan perang Wingate atau perang gerilya sesuai instruksi Panglima Komando Jawa Kolonel Nasution untuk mengamankan wilayahnya.

Sadar bahwa pendidikan akan menunjang karir di militer, pada tahun 1952 Soimitro mendaftar di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Sescod) di Bandung, Jawa Barat.

Namun di tengah masa pendidikan Soimitra, terjadi peristiwa pada 17 Oktober 1952 yang meletus akibat konflik internal antara tentara dan partai politik. Saat itu, KSAD Kolonel Ah Nasution menempatkan tank di sekitar istana presiden.

Saat itu, tank tersebut rencananya akan meminta Presiden Sukarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara. Setelah lulus dari Seskoad, karir Soemitro sukses. Ia diangkat menjadi Pembantu II Komandan Tentara Teritorial (TT) V/Brawijaya.

Ia kemudian dipromosikan menjadi Kepala Staf Resimen pada tahun 1953 dan Komandan Resimen pada tahun 1955. Setahun kemudian, Soimitro kembali ke Bandung untuk menjadi instruktur di Seasquad dan sekaligus bersekolah di Sekolah Lanjutan Perwira Kedua. .

Soemitro kembali melanjutkan pendidikan militernya. Ia masuk Sekolah Staf dan Komando ABRI. Setelah lulus, Soemitro berangkat ke luar negeri untuk belajar di Fuhrungsakademie der Bundeswehr di Hamburg, Jerman Barat.

Pulang ke tanah air pada tahun 1965, Soimitro diangkat menjadi Panglima Kodam IX/Mulwarman yang membawahi wilayah Kalimantan Timur. Ia membangun reputasinya sebagai jenderal anti-komunis dengan menangkap pejabat yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia di Kalimantan Timur.

Tindakan ini mendapat teguran dari Presiden Sukarno. Pada akhir tahun 1965, Panglima Angkatan Darat Mayor Jenderal Suharto, yang mencoba merebut kekuasaan, membujuk Soimitro ke Jakarta untuk bergabung dengan stafnya.

Penarikan ini merupakan strategi untuk mendapatkan dukungan petugas dari berbagai etnis. Soimitra dan Basuki Rahmat mewakili Provinsi Jawa Timur. Ketegangan politik pada bulan Maret 1996 mendorong Soeharto mengerahkan perwira militer.

Suharto mengatakan Presiden Sukarno sebaiknya dipisahkan dari sejumlah menteri yang diduga terlibat G30S/PKI. Dalam rapat itu diputuskan untuk menangkap menteri pada masa pelantikan pemerintahan Dwekura pada 11 Maret 1966.

Pelaksananya adalah Resimen Parasut Angkatan Darat (RPKAD). Soemitro bertanggung jawab mencatat perintah dan kemudian meneruskannya kepada pasukan. Saat kekuatan mulai bergerak, salah satu staf pribadi Soeharto, Alamsiah Ratu Prawiranigara, menghubungi Soimitro.

Ia diminta menarik pasukan karena Soeharto berubah pikiran. Namun perintah Soeharto terlambat, operasi sudah berjalan, dan Sumitru tidak dapat menarik pasukannya. Gerakan inilah yang kemudian menjadi dasar Presiden Sukarno mengeluarkan pesan 11 Maret atau dikenal dengan Supersemar.

Soimitru yang setia kepada Soeharto kemudian dimutasi ke Jawa Timur menjadi Panglima Kodam VIII/Brawijaya pada pertengahan tahun 1966. Mengamankan Jawa Timur bukanlah tugas yang mudah mengingat wilayah tersebut merupakan provinsi asal Sukarno.

Namun berkat kemampuannya, Soimitra berhasil menghilangkan sentimen pro-Sukarno pada kepemimpinannya. Ketika Soeharto diangkat menjadi Penjabat Presiden Republik Indonesia pada tahun 1967, Soimitro ditarik ke Jakarta.

Ia diangkat menjadi Asisten Operasi Panglima Angkatan Darat. Karir Soemitro terus menanjak. Dua tahun kemudian, ia diangkat menjadi kepala staf Menteri Pertahanan dan Keamanan.

Berdasarkan buku Soemitro dari Pangdam Mulawarman ke Pangkopkamtib karya Ramadhan KH (1994), kacaunya organisasi militer dan melemahnya wibawa tentara pasca peristiwa G30S/PKI menyebabkan terjadinya reorganisasi pada tahun 1969.

Situasi ini menyebabkan Soemitro mengambil alih jabatan Wakil Komandan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Wapangkopkamtib) yang bertugas memulihkan keamanan dan ketertiban.

Soemitro meraih pangkat jenderal penuh, bintang empat, pada tahun 1970. Setahun kemudian, ia pun mencapai puncak karir militernya, sekaligus menjadi Panglima Kopkamtib dan Wakil Panglima ABRI.

Kedudukan Pangkopkamtib sangat bergengsi karena mempunyai kewenangan penuh atas keamanan dan ketertiban di Indonesia. Kekuasaan Soimiru sangat luas, mencakup bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Lembaga ini mempunyai kewenangan untuk melarang demonstrasi, menangkap tokoh politik yang dianggap bermasalah, melarang pembahasan topik sensitif, dan menyensor media. Soemitro pun menjadi orang kedua setelah Presiden Soeharto.

Kekuasaan Kobkamtepe kerap berbenturan dengan kepentingan kelompok kekuasaan lain yang dikoordinasikan oleh asisten pribadi Presiden Soeharto (Asprey), Ali Murtobo. Salah satunya adalah keinginan Soimitra untuk menghentikan campur tangan militer dalam politik.

Sedangkan Ali Murtobo menginginkan hal sebaliknya. Keduanya juga terlibat persaingan di kancah politik Indonesia. Soeharto berusaha mendamaikan keduanya, namun tidak berhasil. Pada akhir tahun 1973, Soimitro tampak menjauhkan diri dari pemerintah.

Dia menoleransi kritik terhadap rezim Suharto. Bahkan, Soemitro mulai berkunjung ke kampus untuk ikut berdiskusi dengan mahasiswa. Dalam pidatonya, Soimitro memaparkan gaya kepemimpinan nasional yang baru.

Pola tersebut tercapai ketika masyarakat dan penguasa saling menjalin komunikasi. Pidato bulan November 1973 tersebut menjadi lampu hijau bagi mahasiswa dan pihak oposisi untuk melakukan koreksi arah bagi dewan nasional.

Namun, atas langkah tersebut, Soemitru mengaku diperintahkan oleh Soeharto.

“Pak Harto bercerita tentang keresahan di kampus dan meminta saya untuk menenangkan kampus. Saya mengiyakan, tapi izinkan saya ke Pulau Buru dulu, baru ke kampus di Jawa Timur (karena saya dari Jawa Timur), “ucap Suimitro.

“Kalau saya berhasil di sana, saya akan pindah ke kampus lain,” kata Soemitro dalam buku Soemitro, Dari Pangdam Mullawarman ke Pangkopkamtip, dikutip Sabtu (17/12/2022).

Memang, gaya kepemimpinan nasional baru yang diperkenalkan Soemitro menyebabkan munculnya gerakan mahasiswa di sejumlah kota. Para mahasiswa berdiskusi dan berdemonstrasi mengenai meningkatnya korupsi, kemiskinan, pengangguran dan kenaikan harga bahan pokok.

Selain itu, para mahasiswa juga menyoroti investasi asing yang tidak berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta pada 14 Januari 1974 dimanfaatkan oleh mahasiswa dan kelompok kritis untuk mengorganisir protes.

Namun pada tanggal 15 dan 16 Januari, demonstrasi berubah menjadi kekerasan, menyebabkan 11 orang tewas, 300 orang terluka dan 775 orang ditahan. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama Bencana Malari atau Bencana 15 Januari.

Sebagai Pangkopkamtib, Soemitro berusaha menebus kesalahannya dengan mengejar Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia dan menindaknya. Namun hal itu tidak mengubah keadaan karena ia dianggap bertanggung jawab atas demonstrasi yang berujung kerusuhan.

Tak lama setelah kejadian malaria, Soimitro akhirnya mengundurkan diri dari jabatan Pangkobkamtep dan Wakil Panglima ABRI. Soemitro memilih meninggalkan dunia militer untuk menikmati masa tuanya.

Golf merupakan salah satu olahraga yang sering dimainkan setelah menjadi warga sipil. Soimitro meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 10 Mei 1998. Kisah perjalanan hidup Soimitro merupakan salah satu perjalanan sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *