Kisah Perjanjian Giyanti Bikin Pangeran Singosari Murka ke Sultan Hamengkubuwono I

Perjanjian Jiyanti berdampak pada konflik internal di Matalan Islam. Faktanya, konflik terus bermunculan di wilayah-wilayah yang dikuasai Mataram, dibantu oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, salah satunya adalah Perusahaan Hindia Timur Belanda.

Pembagian kekuasaan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka menjadi salah satu perjuangan yang muncul pada periode ini. Apalagi beberapa wilayah di Jawa saat itu terpecah menjadi dua sehingga menimbulkan ketidakpuasan Pangeran Singosari.

Ia merupakan putra ratu kadipaten, Susuhunan Amangkurat IV, yang bertahta pada tahun 1719 hingga 1726. Konon Pangeran Xingosari juga merupakan saudara tiri Sultan Hameng Kubuwono I dan paman Pakubuwono III.

Pangeran Singosari dikenal juga dengan sebutan Pangeran Arya Prabujaka atau Pangeran Prabujaya. Pada tahun 1743, pada usia 16 tahun, ia memulai pemberontakan terhadap istana saudara tirinya Pakubwono II di Kartasura.

Hal ini termuat dalam “Banteng Terakhir Kesultanan Yogyakarta: Kisah Raden Ronggo Prawirodirjo III dari Melati Fen, Sekitar Tahun 1779-1810”. Pasca penandatanganan Perjanjian Jiyanti, ia tidak mau menyerah kepada Sudan atau Sunan.

Untuk meningkatkan efisiensinya, ia pergi ke Malang bersama putranya Raden Mas. Di Malang, Pangeran Xingosari bersekutu dengan bupati setempat Laden Tumongon Malakusuma dan menikah dengan saudara perempuan bupati.

Faktanya, Sultan Hameng Kubuwono I dan Sunan Pakubwono III sudah tidak tertarik lagi melawan Pangeran Singosari. Namun, mereka tetap berusaha membuat kepala suku menyerah.

Sultan beberapa kali mengirimkan utusan untuk membujuk Pangeran Xingosari agar menyerah.

Berbagai ajakan Sultan nampaknya tak menyurutkan semangat Pangeran Zingosari untuk terus berjuang hingga titik darah penghabisan. Menurut sumber setempat, Perdikan-Pesantren Tegalsari telah berdiri sejak tahun 1742.

Sultan Hamengkubuwono I meminta nasihat kepada salah seorang pejabat setingkat Tumongun mengenai penangkapan Pangeran Singosari. Istana Tumun merekomendasikan agar Sultan memerintahkan untuk mencari bantuan kepada Jiai Aggen Muhammad Besari.

Ia menjabat sebagai Kiai Perdikan-Pesantren Tegalsari I (1742-73) untuk menangkap Pangeran Singosari di Malang. Pasukan khusus bersiap menangkap Pangeran Xingosari.

Sultan Hameng Kubuwono I mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh Bin Laden Longo Prawiro Diljo I untuk melancarkan serangan mendadak terhadap pemberontak pada malam hari.

Namun penyerangan tersebut tidak berhasil melumpuhkan Pangeran Singosari dan pasukannya. Mereka memilih mundur dari Jianyili menuju daerah Malang. Kekuatan gabungan Kompeni Jawa dan Hindia Timur maju ke pegunungan di selatan Malang.

Mengikuti di belakangnya adalah Pangeran Xingosari dan pasukannya. Tentu saja Kiai Ageng Muhammad bin Umar juga ikut serta dalam rombongan tersebut. Setelah sampai di Schrungart (sekarang bagian dari Kabupaten Brida), pasukan gabungan untuk sementara mendirikan kemah.

Setelah sekian lama akhirnya Pangeran Singosari mau menyerah, dan setelah 40 prajurit dari Jawa dan Kompeni Hindia Timur Belanda memasuki kampnya, akhirnya pemimpin pemberontak itu datang ke meja perundingan.

16 Juli 1768 menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi.

Keberhasilan penangkapan Pangeran Singosari merupakan upaya gabungan antara Tentara Jawa dan East India Company, termasuk Kiai Ageng Muhammad bin Unan dari Perdikan-Pesantren Tegalsari, yang menunjukkan betapa saktinya Kiai Perdikan Tegalsari saat itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *