Konflik Iran-Israel Bisa Bikin Krisis 1998 Terulang, Ini Pemicunya

JAKARTA – Meningkatnya konflik antara Israel dan Iran dalam beberapa pekan terakhir berpotensi merusak perekonomian negara. Situasi ini kemungkinan besar akan mengguncang perdagangan luar negeri dan kebijakan moneter Indonesia.

Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini mengatakan memanasnya geopolitik di Timur Tengah tidak bisa dianggap remeh. Dia membandingkan dampak perang Israel-Iran dengan air yang mengalir melalui Dubai, yang membuat operasi di Uni Emirat Arab (UEA) terhenti total.

Indonesia mungkin akan mengalami situasi pascabanjir di Dubai, yang merupakan pengulangan krisis keuangan tahun 1998, jika pemerintah saat ini tidak memperkirakan dampak perang antara kedua negara. Secara khusus, program pemerintah mengatur perdagangan luar negeri dan kebijakan moneter. Kedua faktor ini sangat rentan terhadap konflik global.

“Jangan anggap remeh dampak perang ini terhadap pemerintahan, jangan fokus pada politik, urusan Gibran dan MK, dan jangan main-main, perang ini akan membuat air mengalir di Dubai, ya akan terjadi. melalui jalur perdagangan luar negeri dan moneter” Senin (22/4/2024) kata Educate dalam forum tersebut.

Timur Tengah merupakan mitra strategis Indonesia di bidang energi dan pasokan berbagai komoditas, terutama minyak mentah dan bahan baku pupuk. Kawasan ini memainkan peran penting dalam perdagangan minyak global dan saat ini sedang menghadapi hambatan.

Didik menilai, meski pasar minyak mulai terganggu dari Timur Tengah, Afrika Utara hingga Eropa, Indonesia harus memperkuat perdagangan luar negerinya dengan negara-negara Asia lainnya.

Indonesia, lanjutnya, masih memiliki kutub ekonomi untuk mengelola dan meningkatkan kerja sama. Dampak negatif perang Timur Tengah terhadap perdagangan luar negeri Indonesia masih bisa diminimalisir.

“Dan perdagangan Timur Tengah itu terdiri dari barang yaitu minyak, karena itu pendekatannya harus diutamakan. Pertama, walaupun pasar di Afrika Utara menghalangi jalan ke Eropa, saya kira kita juga harus ke Amerika, kita masih punya kutub lain. , ” jelasnya.

“Di Asia sendiri tidak akan diganggu, mitra kita Jepang adalah importir yang sangat besar, mitra kita Tiongkok juga tidak akan diganggu. Maka India dan kutub ekonomi lainnya selain Eropa dan Amerika harus dikelola sebagai bagian dari apa yang kita lakukan. kita harus mengatur perdagangan luar negeri,” lanjutnya.

Baca juga: Bukti Nyata, Perekonomian Rusia Tetap Tangguh Meski Dihujani Sanksi Barat

Secara moneter, dampak perang Iran-Israel menimbulkan dorongan inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar sehingga meningkatkan tekanan terhadap daya beli masyarakat. Rantai pasokan global yang terganggu berarti produsen harus mencari bahan mentah di tempat lain, sehingga peningkatan biaya produksi dibebankan kepada konsumen.

Apalagi, semakin lama kebijakan suku bunga tinggi berlangsung atau berlangsung lama, maka risiko suku bunga akan semakin menguat.

“Tekanan kebijakan Bank Indonesia terhadap inflasi sangat besar. Dan kalau masalah moneter dan BI kolaps, tahun 1997 lagi ya (krisis berulang). “Kalau Rp 18.000 – Rp 19.000 (USD menguat terhadap rupiah), bisa saja Jokowi tumbang, jangan main-main, meski tinggal beberapa bulan lagi,” ujarnya.

Jadi, BI sangat perlu memantau inflasi. Kebijakan ketiga dan terpenting adalah kebijakan fiskal, yang merupakan alat yang berguna secara langsung. “Dalam ribuan triliun itu bisa dimanfaatkan, bukan buket yang besar seperti sekarang,” jelas Didik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *