Mencicipi Kelezatan Nasi Boran, Salah Satu Kuliner Legendaris Lamongan

LAMONGAN – Beras boran merupakan salah satu produk khas Lamongan. Namanya mungkin tidak setenar sambal lamongan atau tahu campur pada umumnya, namun merupakan sajian yang melegenda.

Nasi boran atau dalam bahasa jawa sego boran merupakan warisan nenek moyang kita sejak zaman penjajahan.

Makanan ini bisa dengan mudah Anda temukan ketika memasuki kawasan Lamongan. Para pedagang biasanya berjualan di sepanjang pinggir jalan, termasuk di Jalan Raya Surabaya – sebagian Bojonegoro.

Salah satu penjual nasi merah, Suparni mengatakan, nasi merah sudah menjadi masakan khas Lamongan sejak lama. Kuliner ini konon sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.

“Nenek saya bikinnya sekitar tahun 400-an. Iya, itu makanan rakyat zaman kolonial. Saya bisa membuatnya dan saya warisan dari mendiang nenek dan ibu saya,” kata Suparni usai pertemuan.

Nasi boran pada dasarnya adalah nasi biasa dengan bumbu seperti bumbu Bali namun penuh dengan ketumbar. Hal lain yang membedakannya dengan Bali adalah kandungan kelapanya yang murni sehingga bumbunya terlihat enak.

Dari manakah nama Boran berasal? Boran adalah sebutan untuk rice bowl yang digunakan untuk menyajikan nasi sebagai bumbu dan lauk.

Penanak nasi ini terbuat dari bahan bambu yang dianyam seperti vacula dan mempunyai kapasitas yang besar. Beras yang disumbangkan atau dijual akan ditempatkan di lokasi. Menurut Suparna, satu buah bisa menampung 10 kilogram beras.

“Iya sekarang katanya wakul, tapi gabah jumbo itu terbuat dari millet yang digiling. Masyarakat Lamongan menyebutnya Boranan. Iya, namanya nasi boran,” kata perempuan yang sudah menjadi pedagang sejak 1982 itu.

Ia menambahkan, sebelumnya makanan yang dimakan hanya tempe, tahu, telur, atau ayam kampung. Namun, seiring berjalannya waktu, lampiran bertambah.

“Iya, nasi merahnya sekarang beda. Ada paprika, telur, tahu, selai kacang, hati ayam, dan susu,” ujarnya.

Selain lauk pauknya yang luar biasa, masih banyak lagi masakan unik yang jarang ditemukan di luar Lamongan. Lauk pauknya sederhana cardan, pletuk dan ikan sili. Gimbal sederhana adalah piring berbentuk bulat yang terbuat dari tepung terigu dan bumbu lainnya serta diberi rasa. Sedangkan Pletuk adalah kedelai yang dipanggang dan digiling halus.

Nasi merahnya istimewa, nasi merahnya tidak disajikan di piring. Nasi boran biasanya disajikan di atas kertas bebas minyak yang dilapisi daun pisana lalu dibuat kerucut.

Suparna sendiri dalam sehari membutuhkan beras sebanyak 10 kilogram, mengingat kapasitas lokal atau ‘boran’ adalah 10 kilogram beras. Namun ketika sudah tenang, ia menyiapkan 5 kilogram beras, dan 5 kilogram beras bisa ia berikan.

Perempuan yang sehari-hari berjualan di selatan Kantor Pemerintahan Lamongan, khususnya di pertigaan di bawah pohon beringin Jalan KH Achmad Dahlan ini mengaku, dari ruas beras tersebut, jika ramai, ia bisa menjual hingga 100 bungkus. .

“Kalau banyak, dijual 100 bungkus. Apalagi saat hari raya, biasanya saya masak nasi dan lauk-pauknya banyak karena jumlahnya tidak mencukupi. Ya, kalau ada puasa seperti ini, banyak yang berbuka puasa. mau ke masjid dan sahur di rumah malamnya, turunlah seperti itu,” ucapnya sambil tersenyum.

Jumlah ini bertambah pada saat hari raya, ketika terjadi arus mudik warga yang melakukan kegiatan silaturahmi menjelang Idul Fitri. Peningkatannya mencapai lebih dari 100 unit atau meningkat hampir 50%.

“Saya berjualan mulai pukul 20.00 WIB hingga 03.00 WIB. Kalau tidak berpuasa, saya berjualan mulai pukul 14.00 WIB hingga 02.00 WIB,” kata perempuan berusia 53 tahun itu.

Bagi yang ingin menyantap nasi merah, tak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Untuk satu porsi yang berisi nasi, tahu, selai kacang, telur, dan bumbu perlu merogoh kocek sebesar Rp 10.000.

Tentu saja harganya akan berbeda jika menggunakan lauk pauk yang termasuk musimnya seperti ikan sili dan tuthuk. Tapi jangan khawatir tentang dompet Anda. Potongan nasi boran yang bisa dinikmati maksimal adalah Rp 25.000

“Iya kisarannya antara Rp 10.000 hingga Rp 25.000. Saya jual dari Rp 8.000 hingga Rp 20.000, itu yang paling mahal,” kata Suparni.

Di Lamongan sendiri banyak sekali yang menjual nasi merah. Jika Anda melewati kota Lamongan pada sore hingga malam hari, Anda akan menemukan banyak penjual nasi boran di trotoar sepanjang jalan selatan Jalan Raya Lamongan – Surabaya.

Namun jika tak ingin asap rokok menghalangi Anda menikmati makanan, Anda bisa mencari pedagang nasi boran di kawasan Jalan KH Achmad Dahlan, sebelah selatan Kantor Pemerintahan Lamongan ini.

Suparni menjelaskan alasan para penjual nasi buncis memilih berjualan di pinggir jalan utama. Selain memiliki fasilitas yang memadai dan tempat yang tidak mengganggu peserta lalu lintas, juga melestarikan masakan asli Lamongan.

“Dulu dijual di desa. Tapi sekarang boleh di pinggir jalan. Sebab untuk melindungi pohon Lamongan dulu,” jelasnya.

Warga Lamongan, Suharno, mengatakan, setiap pulang kampung, ia dan keluarga menyempatkan diri untuk membeli beras merah. Bahkan kuliner yang satu ini jarang ditemukan di daerah lain, berbeda dengan masakan Lamongan lainnya seperti soto atau tahu campur.

Dengan datar ia berkata, “Sulit mencari di luar daerah, jarang di Bekasi. Makanya kalau pulang ke rumah pasti mampir dan beli berkali-kali.”

Baginya, selain bersilaturahmi dengan keluarga saat lebaran, makanan rice pine juga menyelamatkan rumah para perantau di kotanya.

“Nah, untuk menyelamatkan rumah saja, kalau punya cukup waktu biasanya mampir untuk makan,” ujarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *