Miris, Sebanyak 2,1 Juta Pemain Judi Online Berprofesi Ibu Rumah Tangga dan Pelajar

JAKARTA – Kejadian perjudian online di Indonesia semakin memprihatinkan dan memerlukan perhatian khusus. Kebanyakan yang ikut serta dalam perjudian online adalah ibu rumah tangga dan pelajar.

Hal tersebut terungkap pada acara Penjualan Obrolan Literasi Digital yang bertemakan “Rangkullah Anak, Cegah Anak Judi Online”. dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemyonkominfo).

Dalam acara tersebut dijelaskan bahwa berdasarkan penelitian kesehatan masyarakat di Massachusetts, kecanduan game dapat terjadi pada anak-anak sejak usia 10 tahun. Oleh karena itu, peran orang tua dalam mencegah tumbuhnya perjudian internet di kalangan remaja dan anak-anak sangatlah penting.

Namun sayangnya, orang tua sering kali menghadapi tantangan karena buta teknologi, meskipun banyak orang tua yang menggunakan perangkat mereka sebagai pengasuh kedua. Maraknya perjudian online di kalangan anak-anak dibuktikan dengan konten streaming gaming yang kerap terang-terangan mempromosikan situs perjudian.

Pusat Pelaporan Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan 2,7 juta masyarakat Indonesia terlibat dalam perjudian online, dimana 2,1 juta diantaranya berasal dari masyarakat sebagai istri dan pelajar dengan pendapatan kurang dari Rp 100.000.

Meluasnya permasalahan perjudian online yang mempengaruhi kehidupan anak-anak memang memprihatinkan. Oleh karena itu, orang tua harus mewaspadai permasalahan ruang digital, sehingga orang tua dapat mengkomunikasikan dengan baik bahaya penggunaan alat kepada anak-anaknya, dan anak-anak memahami apa yang mereka hadapi. Jawaban yang baik, seperti pro dan kontra.

Komite Pengarah Aksi Siber, penggiat literasi digital dan pendiri Sejiva Deena Haryana mengatakan, orang tua harus waspada dalam memantau perilaku anak. Ketika seorang anak kecanduan gadget, dapat diamati bahwa ia sering kali berperilaku tidak biasa seperti menghindari belajar, tidak tertarik beraktivitas di luar rumah, dan menyebabkan kerusakan harta benda.

Oleh karena itu, Deena menghimbau agar anak-anak diajarkan untuk menciptakan personal branding sejak dini, sehingga anak-anak dapat mengetahui visi dan misi hidupnya. “Agar anak-anak memiliki personal branding yang baik sehingga tidak menjadi sasaran komentar negatif di ruang digital,” kata Deena, Minggu (12/5/2024).

Deena juga menegaskan bahwa anak-anak yang mengikuti perjudian internet justru menambah beban psikologis masyarakat seiring dengan meningkatnya jumlah penjudi.

Psikolog Nurul Qomaria menyarankan agar orang tua selalu hadir dengan memantau tumbuh kembang anaknya secara aktif, karena anak menunjukkan apa yang dibutuhkannya melalui perilakunya. Menurut Nurul, anak usia 10 tahun memiliki tingkat adrenalin yang tinggi untuk belajar, sehingga tidak heran jika tidak dikendalikan, mereka bisa melakukan aktivitas yang membuat ketagihan dan melakukan aktivitas negatif.

Jadi, anak-anak mungkin tumbuh dengan pandangan negatif terhadap dirinya sendiri. Orang tua harus hadir sepenuhnya, tidak hanya bersama anak.

“Akan lebih baik jika kita memberinya waktu untuk mengatakan apa yang diinginkannya. Karena jika seorang anak mempercayai kita sebagai orang tua dan pengasuhnya, dia akan segera memberitahukan apa yang diinginkannya kepada kita,- kata Nurul.

Ketua KPAI Ai Maryati Soliha menegaskan, kecanduan judi online di kalangan anak-anak telah menjadi permasalahan sosial yang semakin berkembang. Jika seorang anak mengalami kecanduan judi online, dukungan orang tua harus menjadi hal yang terpenting dalam proses pemulihannya. “Di sini penilaian dan bahasa yang diskriminatif, bahkan kemarahan dan frustasi terhadap anak harus selalu dihindari. Karena penerimaan anak dari orang tuanya sangat penting,” ujarnya.

Orang tua juga harus mencari upaya eksternal, misalnya orang tua dan anak dari pemerintah daerah, yang merupakan faktor penting dalam rehabilitasi anak dari perilaku negatif seperti perjudian online. KPAI melihat adanya ekosistem negatif terhadap anak akibat penyalahgunaan teknologi dan media sosial seperti anak yang ingin bunuh diri, anak yang berhadapan dengan hukum bahkan eksploitasi ekonomi.

“Orang tua adalah role model bagi anak, sehingga harus terampil dan bijak dalam memanfaatkan teknologi,” tambah Ai Maryati.

Orang tua menjadi sumber komunikasi utama untuk membuat kesepakatan dengan anak dalam penggunaan gawai agar anak tidak terpapar penyalahgunaan konten negatif di dunia maya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *