Tim Hukum Ganjar-Mahfud Sebut Kekuasaan Pemerintah Besar karena Menempatkannya di Atas Hukum

JAKARTA – Tim kuasa hukum Gunjar-Mahfud tengah mempertimbangkan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2024 dalam berkas terbaru yang menunjukkan kekuasaan pemerintah terlalu besar karena meninggikan kedudukannya di atas hukum.

Dalam pengajuannya, tim kuasa hukum Ganjar-Mahfoud menyebut PHPU Pilpres 2024 yang digelar pada 27 Maret hingga 5 April menimbulkan kesan ketegangan antara kedua pandangan tersebut.

Diantaranya adalah para Pemohon (KPU) dan pihak terkait (keluarga Prabowo-Jabran) yang percaya pada hukum, dan kelompoknya yang menginginkan hukum tersebut. Di antara mereka yang mengedepankan keadilan prosedural adalah kita yang mencari keadilan yang sesungguhnya.

Tim kuasa hukum Gunjar-Mahfud mengatakan, yang masih harus ditentukan adalah bagaimana dampaknya terhadap Indonesia dengan usulan hukum tersebut di masa depan.

Tim kuasa hukum Gunjar Mahfud menyimpulkan: “Dengan penegakan hukum maka kekuasaan pemerintah akan bertambah, karena berada di atas hukum.

Saat ini, di bawah supremasi hukum, semua orang sama di hadapan hukum dan tidak ada seorang pun yang kebal hukum. Dengan demikian, undang-undang dibuat untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan hanya untuk kepentingan elite saja. Hanya dengan cara itulah harkat dan martabat bangsa Indonesia dapat tercapai.

Dengan didukung keadilan prosedural oleh responden dan pihak-pihak terkait, maka ketentuan hukum menjadi kata mati yang harus dipatuhi kata demi kata. Kuncinya adalah mendengarkan, bukan bertanya. Terlepas dari apakah hukum yang ada saat ini adil atau tidak, hukum harus dipatuhi.

Oleh karena itu, kombinasi sikap tersebut dengan keyakinannya terhadap hukum berbahaya karena masyarakat hanya menambah masalah pada aparat, ujarnya.

Faktanya, perselisihan antara pemohon banding dan tergugat serta pihak terkait mengulangi perdebatan lama tentang hukum alam dan pendapat hukum yang baik. Seperti halnya perdebatan klasik, isu utama dalam persidangan ini adalah moral.

Dalil pemohon, hukum harusnya bersumber dari etika. Prinsip ini sesuai dengan pepatah yang diberikan oleh St. Agustinus, “Hukum yang tidak adil bukanlah hukum sama sekali.” Pada titik ini, para pengkritik dan pengkritik berpendapat bahwa pembahasan etika menjadi mubazir jika sudah ada undang-undang.

“Ikuti saja aturannya. Tidak perlu mempertanyakan, tidak perlu mengkritik. Pembahasan responden dan pihak-pihak berdasarkan aturan main yang tertulis dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 sebagaimana telah diubah. Tahun 2022 UU Nomor 1 diganti. oleh peraturan pemerintah (selanjutnya disebut “UU Pemilu”), khususnya mengenai wilayah hukum Mahkamah Konstitusi Indonesia (yang biasa disebut ‘MKRI’). Sayangnya, mereka tidak setia pada idenya,” katanya.

Pertama, dalam penerimaan Gibran Rockabuming Raka sebagai Wakil Presiden, pihak-pihak yang terlibat mengabaikan fakta ketika Gibran Rockabuming Raka mendaftar sebagai calon pada pemilu 2024 pada 25 Oktober 2023.

“Pada saat dilakukan verifikasi dokumen pendaftaran pada tanggal 28 Oktober 2023, maka peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang seleksi peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden KPU Tahun 2023 Nomor 19 masih berlaku. bertahun-tahun, katanya, hukum telah dilanggar.

Kedua, sebelum dan selama pemilu presiden 2024, responden dan partai-partai besar menutup mata terhadap bias dan penyalahgunaan kekuasaan.

Undang-undang yang ada sudah dilanggar berkali-kali, mungkin ratusan, tapi jawabannya: (I) Kenapa baru ditanyakan sekarang? dan (ii) mengapa ada masalah? Mereka tidak peduli melanggar aturan yang menguntungkan mereka. Mereka hanya peduli terhadap pelanggaran hukum jika hal itu membahayakan posisi mereka.

Ketiga, pihak oposisi dan partai arus utama menutup mata terhadap pelanggaran proses pemilu pada Pilpres 2024 yang terjadi hampir di seluruh Indonesia.

Dengan memberikan keadilan yang nyata kepada penggugat, maka keadilan akan tercapai apabila hukum sudah adil. Hukum adalah apa yang dilihat, sehingga kebiasaan berpikir kritis adalah bagian dari kodratnya.

Yang dikatakan pihak terkait adalah pelanggaran tersebut tidak dilakukan oleh pihak terkait dan tidak menguntungkan pihak terkait. Respon ini memberikan gambaran utuh mengenai perilaku pihak yang berkepentingan yang mengutamakan dirinya sendiri di atas hal lain. Mereka tidak peduli bahwa yang dirugikan akibat pelanggaran undang-undang ini semuanya adalah warga negara Indonesia.

Oleh karena itu, meskipun pandangan penggugat dan sekutunya didasarkan pada kerangka hukum, namun mereka berulang kali menahan diri untuk menyampaikannya, tutupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *