Soal Pernyataan Wapres Terkait Dana Otsus Papua, Ini Respons Pimpinan Komite I DPD

JAKARTA – Wakil Presiden (Wapres) KH Ma’ruf Amin menegaskan transfer dana yang menurutnya besar untuk Papua, namun urung terjadi. Pengumuman itu disampaikan Wapres saat kunjungan kerja pada Selasa, 4 Juni 2024 di Merauke, Papua Selatan.

Senator Papua Barat Philep Wamafma mengatakan apa yang disampaikan Wapres merupakan kritik terhadap dirinya sendiri. Selama ini tuntutan masyarakat Papua telah dikomunikasikan ribuan bahkan jutaan kali melalui berbagai jalur resmi, yakni DPD RI, pemerintah provinsi dan kabupaten, serta melalui media.

“Pertanyaannya, apa yang dilakukan pemerintah pusat terhadap semua tuntutan tersebut? Benar, ketika dana otonomi khusus (Otsus) diberikan langsung ke daerah, maka ada tanggung jawab pembangunan dari pemerintah daerah. Namun, pemerintah pusat juga harus mewaspadai adanya pengurangan kewenangan daerah, misalnya melalui UU Cipta Kerja, atau pengurangan kewenangan daerah dalam hal investasi pada Proyek Strategis Nasional (NSP). “Tidak bisa dipungkiri,” kata Philip, Kamis (6 Juni 2024).

Philip mencontohkan, anggaran Papua memang besar, namun ketika dimekarkan menjadi provinsi setelah pemekaran, anggarannya kecil dan hilang. Menurut dia, besarnya anggaran, menurut Wapres, hanya bisa dihitung dari jumlah penduduk. Philip juga mengingatkan agar Wapres mengetahui sekitar 1 persen dana otsus yang dikelola pemerintah pusat melalui BP3OKP.

Seperti diketahui, alokasi Private Endowment Fund saat ini sebesar 2,25% dari batas Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional. Dari jumlah tersebut, 1% dialokasikan untuk pengembangan, pemeliharaan dan penyelenggaraan pelayanan publik; peningkatan kesejahteraan Masyarakat Asli Papua (OAP) dan penguatan kelembagaan adat; dan permasalahan lainnya sesuai kebutuhan dan prioritas daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan tambahan 1,25% diperuntukkan untuk membiayai pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, minimal 30% untuk biaya pendidikan dan 20% untuk biaya kesehatan.

Oleh karena itu, sungguh ironis ketika Wapres mengatakan dana otsus untuk daerah itu banyak, namun beliau tidak bisa menyebutkan besaran 1% yang dikelola pemerintah pusat seperti yang disampaikan Menko Polhukam. Urusan Keamanan disuruh Mahfud, jelaskan. MD lalu programnya apa, hasilnya apa, bentuknya seperti apa. Oleh karena itu, Wapres tidak bisa menyalahkan pemerintah daerah secara langsung, tapi harus mendalami juga bagaimana pemerintah pusat mengelola dana terkait otsus, jelasnya.

Filip mengatakan, Wapres juga harus mempertimbangkan bahwa kebijakan pemekaran sudah menjadi kebijakan pemerintah pusat dan bukan lagi sekedar usulan daerah. Oleh karena itu, tuntutan para pemimpin daerah di Papua menunjukkan bahwa anggaran tersebut kecil dari segi pertumbuhan.

“Sebenarnya Pemerintah tidak mempunyai kebijakan persetujuan mengenai dana otsus, tidak ada sistem keuangan, sehingga sulit bagi pemerintah daerah untuk melakukan kebijakan persetujuan berdasarkan undang-undang otsus. Hal-hal inilah yang harus dievaluasi, dan jangan serta merta menyalahkan pemerintah daerah. Oleh karena itu saya berharap ada sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sehingga masyarakat asli Papua sebagai subyek utama otsus bisa merasakan hasilnya, kata Philip.

Ketua Komite I DPD RI kemudian meminta pemerintah pusat mengambil kebijakan apapun terkait otonomi swasta. Philip berharap akan ada sistem regulasi dan politik yang terkoordinasi dan efisien serta memperhatikan kewenangan daerah.

“Pemerintah pusat harus konsisten dalam semua kebijakan yang dijalankannya. Anggarannya mungkin tidak besar, tapi ada permasalahan dari sisi pendidikan dan kesehatan. Dengan kata lain, pemerintah pusat tidak hanya melihat hasil akhir dari pemberian uang otonomi swasta saja, namun harus ada rencana besar yang jelas untuk Papua, yang kemudian akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah di daerah. Bagaimana pemerintah daerah bisa mendorong investasi yang adil bagi masyarakat Papua jika pemerintah langsung mencampuri urusan izin investasi? “Itu hanya sebuah contoh,” kata Filep.

Pemerintah pusat juga harus memastikan adanya mekanisme pengawasan yang terintegrasi, termasuk tata cara pelaporan hasil otonomi khusus. Pemerintah daerah mungkin khawatir terhadap korupsi karena tidak ada undang-undang otonomi khusus, yang memungkinkan pemerintah daerah untuk berkreasi dalam pembangunan di Papua.

“Hal ini dapat menyebabkan stagnasi dana, dan kemudian pada akhir tahun mencoba mengeluarkan uang untuk kegiatan sporadis yang tidak mempengaruhi pembangunan,” kata Filep.

Senator jebolan Fakultas Hukum Universitas Hasenuddin (Unhas) itu meminta pemerintah tidak menyalahkan pihak lain dan menghambat efektifitas penilaian pemerintah pusat dan daerah.

“Saya kira keluhan tentang pendidikan, kesehatan, guru adalah keluhan sepanjang sejarah Pemerintahan Khusus Papua. Wapres tentu memahami hal itu, karena Presiden menunjuknya untuk memimpin Tim Percepatan Pembangunan Papua. Philip menutup pidatonya. Ia mengatakan: Oleh karena itu, tidak patut menyalahkan pemerintah daerah, padahal seharusnya pemerintah daerah menunjukkan kinerja yang positif.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *